Mohon tunggu...
Moh Nur Nawawi
Moh Nur Nawawi Mohon Tunggu... Nelayan - Founder Surenesia

Seorang pecinta dunia maritim / Pelayan dan Pengabdi Masyarakat / suka menulis, bercerita dan berdiskusi / @nawawi_indonesia nawawisurenesia@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Redesain Kebijakan Benih Lobster

14 Desember 2020   10:32 Diperbarui: 3 Januari 2024   10:49 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Benih Lobster adalah komoditas sektor kelautan dan perikanan yang kekinian selalu seksi jadi bahan perbincangan dimulai dari era Ibu Susi Pudjiastuti memimpin Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan kebijakan pelarangan ekspor benih lobster yang banyak menuai protes dari para pengusaha dan nelayan benih lobster hingga kebijakan tersebut dianulir oleh Menteri Edhy Prabowo selaku pengganti Susi Pudjiastuti, benih lobster masih santer menjadi perbincangan baik dalam kajian-kajian para pakar, organisasi kemasyarakatan di sejumlah segmen diskusi di media. Kebijakan pemanfaatan benih lobster sempat dimandekkan terkait kasus suap yang menimpa Menteri Edhy Prabowo, Menteri Sakti Wahyu Trenggono selaku pengganti tentu memiliki pekerjaan rumah untuk mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya benih lobster secara bijak yang mengedepankan keseimbangan antara ekonomi dan ekologi.


Nilai ekonomi benih lobster yang begitu fantastis, menjadi alasan utama segala permasalahan yang timbul terhadap upaya pengelolaan dan pemanfaatan komoditas tersebut. Diera Menteri Susi Pudjiastuti masyarakat nelayan penangkap benih dan pembudidaya  merasa tidak terberdayakan akibat permen 56  tahun 2016, isu konservasi lobster karena belum dapat dipijahkan secara buatan menjadi alasan utama kebijakan itu, sehingga nelayan difokuskan untuk menangkap lobster yang sudah berukuran besar.


Lokakarya, seminar, diskusi publik hingga diskusi warung kopi ala aktivis banyak membicarakan isu ini, banyak yang ikut berpendapat mulai masyarakat biasa, "kuli tinta", ahli perikanan, ekonom, pejabat dan mantan pejabat publik, bahkan organisasi agama dan kemasyarakatan pun turut menyoroti permasalahan benih lobster tersebut. Selain seksinya isu benih lobster ini tentunya   fenomena justru tampak bagus karena adanya fakta sebuah pendekatan "Penta Heliks" yaitu sebuah pendekatan yang melibatkan berbagai pihak seperti Pemerintah, Akademisi, Pengusaha, Komunitas dan Media. Hal ini lah yang seharusnya menjadi sebuah konsep pendekatan dalam menyiapkan sebuah regulasi.


Merilis pandangan dan kajian sejumlah pakar lobster Indonesia  bahwa ada empat fase dari siklus hidup lobster sebelum mencapai dewasa yaitu nauplisoma, filosoma, puerulus, juvenil (lobster muda). Nauplisoma dan filosoma adalah yang paling kritis karena masih bersifat planktonik atau melayang. Sejumlah referensi mengemukakan di alam sebelum menjadi lobster dewasa ada empat fase siklus hidup lobster yaitu Nauplisoma (telur yang baru menetas 3-5 hari), fase berikutnya Fillosoma (5 -- 7 bulan), kemudian menjadi  Puerulus (7-14 hari) dan selanjutnya menjadi Juvenile (lobster muda). Fase puerulus dan juvenil berada di perairan pantai dan inilah yang ditangkap oleh nelayan untuk diperdagangkan atau dibudidayakan.


Dari ulasan di atas tentunya pendapat para pakar bisa menjadi pertimbangan sebagai upaya intervensi Pemerintah dalam rangka meningkatkan kelangsungan hidup nauplisoma sampai ke dewasa yang di alam diperkirakan kurang dari 1 persen bahkan ada yang berpendapat hanya 0,1 persen.
Melihat kompleksitas permasalahan benih lobster tersebut ditinjau dari berbagai aspek maka pemikiran yang ideal untuk keberlanjutan lobster adalah dengan cara membudidayakannya. Ada tiga hal penting yang harus menjadi perhatian dalam pengembangan budidaya lobster di Indonesia.
Pertama bagaimana meningkatkan  kelangsungan hidup lobster dari fase nauplisoma sampai ke juvenile (lobster muda), mengingat pembenihan artificial belum dikuasai. Kedua bagaimana transformasi budidaya ke masyarakat dan.  Ketiga bagaimana sistem pengendalian monitoring serta evaluasi untuk poin pertama dan kedua.


Pemerintah dalam hal ini kementerian kelautan dan perikanan bisa berkolaborasi dengan lembaga ilmu pengetahuan Indonesia (LIPI), Kementerian riset dan teknologi serta berbagai perguruan tinggi dalam upaya mengembangkan konsep dan metode budidaya lobster serta penyiapan Infrastrukturnya agar Indonesia mampu memnfaatkan benih lobster secara optimal selain menjaga kelestarian habitat lobster agar tetap terjaga dan pembesaran alami yang prosentase hanya 1 % tersebut bisa berkelanjutan.


Pendekatan Cluster dalam transformasi budidaya juga menjadi penting agar kendali input produksi, transformasi inovasi dan teknologi serta sistem pengendalian menjadi lebih terukur dan efisien. Karena itu kelembagaan pembudidaya harus kuat dan melibatkan berbagai tenaga ahli dibidangnya serta dukungan dari berbagai kementerian dan lembaga terkait.


Menyiapkan sistem dan infrastruktur budidaya yang komprehensif tentunya tidak secepat mengedipkan mata, butuh kajian, riset yang terus menerus, dan step by step dalam menyiapkannya. Tapi keberadaan benih lobster dilaut terus meningkat karena produksi alami yang terjadi, tentunya hal ini juga harus dicarikan solusinya, ada berbagai opsi yang bisa dibuat untuk merekonstruksi kebijakan terkait lobster khususnya benih lobster tersebut.


Pertama adalah menutup sama sekali ekspor benih lobster, kemudian segera kembangkan budidayanya dengan inovasi dalam negeri, serta membuka kesempatan investasi dan bekerja sama yang saling menguntungkan dengan nagara-negara yang memiliki konsen sama dalam hal pembudidayaan lobster seperti vietnam.


Dengan ditutupnya ekspor benih lobster tentunya akan berdampak pada berkurangnya kesempatan nelayan penangkap benih lobster untuk kesejahteraan mereka yang selama ini mereka rasakan. Kondisi seperti diera Menteri Susi Pudjiastuti akan kembali dirasakan oleh para nelayan dan aksi penyelundupan akan kembali merajalela.


Namun penerapan opsi pertama memiliki efek positif yang dapat diperoleh antara lain (1) ada percepatan transformasi  teknologi membesarkan Fhylosoma sampai Puerelus dan Juvenil serta Pembesaran Juvenil sampai lobster dewasa untuk diperdagangkan dan calon induk bagi kepentingan restocking dan pembenihan ke depan.  (2) Infrastruktur Perbenihan air laut yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat maupun Daerah dapat dioptimalkan lagi untuk menunjang program ini, karena selama ini dipandang tidak maksimal. (3) Nilai tambah akan diperoleh oleh pembudidaya dan nelayan penangkap benih, meskipun nelayan  harus "berpuasa" beberapa saat  karena menunggu berkembangnya budidaya secara masif.  Selain itu devisa yang diperoleh  negara akan lebih besar ketimbang hanya mengandalkan dari mengekspor benih.


Nilai positif tersebut bisa didapat dengan catatan bahwa penyiapan sistem serta infrastruktur budidaya lobster dilakukan dengan masif dan tersistem dengan baik serta penguatan Pengawasan terhadap aksi penyelundupan benih lobster. Negara-negara yang terindikasi menjadi penerima penyelundupan harus didekati dan diajak bekerja sama mengembangkan budidaya lobster di Indonesia.


Kedua adalah membuka ekspor benih dengan sistem kuota (buka-tutup) sambil mempersiapkan infrastruktur budidayanya. Bila opsi kedua yang diambil maka nilai minusnya  antara lain  sulitnya pengawasan dan pengendalian terhadap eksploitasi dan perdagangan benih. Karena faktanya dilarangpun masih sempat diselundupkan,  apalagi kalau dilegalkan, sehingga di kuatirkan akan mengancam kelestarian. Selain itu berfikir jangka panjang  diprediksi akan ada konflik lagi bila saatnya ekspor benih dditutupkarena budidaya yang dikembangkan sudah berjalan masif.


Sedangkan nilai positifnya adalah membuja kesempatan bagi nelayan penangkap benih segera memperoleh pendapatan yang lebih besar. Selain itu sambil menunggu budidaya lobster berjalan optimal pemerintah juga masih mendapatkan devisa dari ekspor benih lobster.
Yang patut menjadi catatan jika kita menjalankan opsi kedua adalah bagaimana pemerintah bisa menjamin benih lobster difokuskan pada budidaya untuk dibesarkan sedang sisanya diekspor, karena karakteristik masyarakat kita pada umumnya adalah bagaimana mendapatkan keuntungan secara cepat. Dan adanya jaminan masyarakat bisa menghentikan ekspor benih lobster ketika sistem budidaya sudah siap dan berjalan optimal. Pengawasan harus lebih optimal terhadap kegiatan ekspor benih lobster agar tidak membabi buta, dan jangan sampai justru benih lobster yang afkir atau tidak layak budidaya yang disisakan untuk kegiatan budidaya.


Selain itu jika opsi kedua dijalankan maka pemerintah harus benar-benar mampu membangun kerja sama yang memiliki simbiosis mutialisme dengan negara-negara yang konsen dalam kegiatan budidaya lobster.  Karena jika diabaikan mereka akan memanfaatkan dibukanya ekspor untuk kepentingan negara mereka sendiri.


Kasus-kasus yang terjadi selama ini baik mulai pro kontra ekspor yang berujung unjuk rasa dimana-mana hingga kasus penyalahgunaan wewenang dan jabatan Sehingga munculnya kasus korupsi harus menjadi pelajaran sebagai upaya pembenahan kebijakan pengelolaan serta pemanfaatan komoditas benih lobster. Opsi mana yang bisa dipakai akan memiliki dampak yang baik bagi keberlanjutan komoditas lobster dan kesejahteraan masyarakat jika dilakukan dengan tepat dan dipertimbangkan dengan matang melibatkan berbagai pemangku kepentingan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun