Pertama, Manajemen Penangkapan ikan dengan mengelola laju penangkapan ikan di suatu wilayah pengelolaan perikanan agar tidak melebihi jumlah tangkapan yang diperbolehkan. Untuk menjamin kelestarian stok ikan dan keberlanjutan usaha perikanan tangkap maka laju penangkapan ikan di suatu Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) tidak boleh melampui jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB, Total Allowable Harvest).
JTB adalah 80% dari potensi lestari (Maximum Sustainable Yield, MSY).
Wilayah pengelolaan perikanan memiliki berbagai variatif kondisi dari kondisi tangkap berlebih sampai wilayah yang kurang tangkap. Untuk wilayah yang statusnya sudah fully exploited atau overfishing, tingkat penangkapan ikannya harus dikurangi, bahkan jika diperlukan dilakukan moratorium untuk jangka waktu tertentu, sampai stok ikan pulih kembali. Kita harus melakukan perubahan paradigma pengelolaan perikanan tangkap dari "akses terbuka -- siapa saja dan kapan saja setiap orang boleh menangkap ikan di laut (open access free entry)" menjadi "perikanan tangkap secara terkendali (controlled access right-based fisheries)".
Kedua, rasionalisasi jumlah nelayan dan kapal ikan, menginginkan seluruh nelayan sejahtera maka dengan harga rata-rata komoditas ikan seperti sekarang, jumlah total nelayan secara nasional harus disesuaikan dengan kelimpahan stok sumberdaya ikan nasional, data stok ikan nasional harus terus divalidasi agar bisa mencapai nilai keseimbangan antara stok ikan nasional dan jumlah armada serta nelayan penangkap ikan.
Pemerataan armada peangkapan di seluruh wilayah pengelolaan perikanan adalah salah satu alternatif bagi perikanan tangkap, agar pemanfaatan sumberdaya ikan bisa merata di setiap wilayah pengelolaan perikanan. Akurasi data nelayan dan armada harus benar-benar terwujud agar pemerintah bisa menetapkan kebijakan pemanfaatan sumberdaya ikan yang efisien, tidak ada lagi wilayah yang over penangkapan dan ada wilayah yang tidak terjamah.
Ketiga,modernisasi armada perikanan tangkap nasional. modernisasi armada perikanan tangkap, baik yang berkaitan dengan kapal ikan (fishing vessel) maupun alat tangkap (fishing gears) sesuai dengan karakteristik dan dinamika perairan laut dan sumberdaya ikan. Kapal ikan juga harus dilengkapi dengan sistem navigasi yang memadai, GPS (global positioning system), peta perkiraan lokasi ikan (fishing grounds), fish finder, dan beragam alat penunjang penangkapan ikan lainnya. Dengan demikian, produktivitas dan efisiensi usaha penangkapan ikan dapat ditingkatkan, yang pada gilirannya dapat meningkatkan pendapatan (kesejahteraan) nelayan serta pelaku usaha lain yang terkait.
Keempat, Modernisasi dan integrasi pelabuhan perikanan sebagai kluster industri perikanan terpadu. Keberadaan pelabuhan perikanan sangat penting dalam menentukan produktivitas, efisiensi, dan keberlanjutan usaha perikanan tangkap. Pelabuhan perikanan berfungsi sebagai tempat tambat-labuh kapal ikan, lokasi pemasok sarana kebutuhan melaut (seperti BBM, es, bahan makanan, dan lainnya), kawasan industri pengolahan hasil perikanan, tempat perawatan kapal ikan (dockyard), dan lainnya.
Dalam rangka melayani kapal-kapal ikan nasional yang memanfaatkan sumberdaya ikan di perairan zona ekonomi eksklusif, laut dalam, dan laut perbatasan yang selama ini banyak beroperasi kapal ikan asing secara ilegal maka sejumlah pelabuhan perikanan di wilayah-wilayah terdepan perlu disempurnakan prasarana dan sarananya, antara lain: Sabang, Tarempa (Natuna), Pemangkat dan Pontianak (Kalbar), Tual, Biak, Miangas, Marore Kupang, selatan jawa dan lain sebagainya.
Pelabuhan perikanan sebagai kawasan kluster industri perikanan juga harus memiliki prasrana dan sarana pembangunan yang mumpuni, seperti air bersih, listrik, suplai BBM, jaringan telekomunikasi, dan jaringan jalan yang menghubungkannya ke pelabuhan udara guna mempercepat distribusi ekspor produk perikanan, Â sentra produksi sarana perikanan, dan pasar dalam negeri.
Kelima, Optimalisasi sistem rantai dingin . Ikan termasuk komoditas yang sangat mudah busuk (highly perishable). Oleh sebab itu, guna mempertahankan mutu dan harga jual tinggi, jenis-jenis sumberdaya ikan yang bernilai ekonomi penting (seperti ikan tuna, bawal, tenggiri, kakap merah, dan udang) harus disimpan dalam wadah berpendingin sejak dari kapal ikan sampai ke tangan konsumen akhir (cold chain system). Oleh karena itu penjaminan mutu dengan sistem rantai dingin harus dimulai dari kapal penangkap hingga konsumen ( from cath to table)
Palkanisasi kapal ikan, pengadaan cool box untuk nelayan tradisional, dan pengadaan pabrik es dan cold storage di tempat-tempat pendaratan ikan (pelabuhan perikanan) menjadi sangat penting. Inovasi teknologi seperti mesin konversi air laut menjadi es atau air dingin perlu dioptimalkan pengembangannya dan disediakan untuk para nelayan. Pelabuhan perikanan dan tempat pendaratan ikan juga harus higeinis. Sistim distribusi produk ikan dari kapal menuju pengolahan hingga meja konsumen harus mengoptimalkan sistem rantai dingin.
Keenam,Subsidi Nelayan yang efektif. Rata-rata sekitar 60% biaya melaut kapal ikan habis digunakan untuk membeli bahan bakar. Untuk menanggulangi pasokan BBM yang tak menentumengoptimalkan peran  SPDN (Stasiun Pengisian Bahan Bakar untuk Nelayan) adalah langkah strategis, selain itu kebijakan subsidi bagi nelayan harus benar-benar diatur sedemikian rupa agar subsidi tepat sasaran. Pemberikan subsidi BBM secara tepat sasaran dan dengan pengendalian ketat agar tidak disalahgunakan untuk pihak-pihak penjahat atau komprador. Pengembangan bahan bakar alternatif, seperti biofuel, untuk kapal ikan harus terus digalakkan