Membangun bersama, Sudahi polemik
*Moh Nur NawawiPagi ini media massa ramai memberitakan tentang unjuk rasa berbagai nelayan di utara pesisir jawa khususnya Jawa tengah dan jawa timur, unjuk rasa terkait pemberlakuan larangan pengoperasian alat tangkap yang tidak ramah lingkungan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (KP) No 2 Tahun 2015 dan Permen KP No 71 Tahun 2016 yang melarang penggunaan 17 alat tangkap seperti cantrang. Ratusan nelayan yang melakukan unjuk rasa menuntut pemerintah mencabut larangan tersebut dengan dalih dengan adanya aturan pelarangan tersebut banyak kapal nelayan yang tidak bisa beroperasi yang mengakibatkan nelayan cantrang semakin miskin.Â
Peraturan pelarangan cantrang dan alat tangkap ikan sejenis sudah diterbitkan sejak tahun 2015 dan 2016 dan baru di terapkan pada tanggal 8 januari 2018 hal itu karena adanya beberapa kali penundaan dengan adanya berbagai pertimbangan baik dari segi dampak masyarakat hingga sosial ekonomi nelayan, tapi ironis sekali dimasa - masa penundaan penerapan peraturan tersebut belum ada kesepahaman yang di capai antara pihak pro dan kontra dengan aturan tersebut bahkan fakta di lapangan justru kapal dengan alat tangkap tersebut semakin bertambah bukannya berkurang, bahkan beberapa pemerintah daerah beserta lembaga swadaya masyarakat terkesan ikut serta dalam aksi penolakan aturan tersebut, belum lagi ditengah pergolakan Pilkada di beberapa daerah termasuk di pulau Jawa justru isu - isu terkait cantrang menjadi sebuah isu yang sengaja digoreng demi kepentingan elit dan kelompok tertentu.
Isu tentang cantrang kalau kita melihat jauh kebelakang adalah sebuah isu yang telah lama menjadi polemik, Persoalan alat tangkap nelayan di Indonesia sebenarnya sudah muncul sejak era Presiden Soeharto.Â
Pada 1980, para nelayan kecil meminta kapal pukat harimau (trawl) dilarang beroperasi karena dianggap telah merugikan mereka. Soeharto pun mengeluarkan Keputusan Presiden No. 39/1980 tentang penghapusan jaring trawl yang berlaku mulai 1 Oktober 1980 untuk perairan Laut Jawa. Lalu menyusul, berlaku di Pulau Sumatera mulai 1 Januari 1981. Tiga puluh lima tahun kemudian isu itu muncul lagi di era kepemimpinan presiden Jokowi dengan Susi Pudjiastuti sebagai Menteri kelautan dan perikanan yang memang mempunyai kewenangan di bidang tersebut.Â
Pelarangan cantrang bukanlah hal baru seharusnya masyarakat sudah banyak belajar dari pengalaman - pengalaman masa lalu kenapa tipe alat tangkap yang merusak lingkungan seperti cantrang dilarang beroperasi karena sangat banyak dampak negatif yang di timbulkan mulai kerusakan ekosistem, kelestarian sumberdaya ikan hingga konflik antar nelayan yang banyak di timbulakan akibat beroprasinya alat tangkap ini.Â
Disisi lain memang ada pihak yang dirugikan khususnya nelayan cantrang tapi seharusnya berbagai pihak bisa mendorong nelayan - nelayan tersebut untuk berpindah dari alat tangkap yang merusak lingkungan menuju alat tangkap yang ramah lingkungan, memang tidak mudah merubah mindset nelayan untuk itu, dengan kebijakan - kebijakan yang telah di gulirkan oleh pemerintah seperti  penggantian alat tangkap ikan untuk kapal cantrang berbobot kurang dari 10 GT, seperti gillnet, bubu lipat, rawai dasar dan lain sebagainya, memfasilitasi kapal cantrang 10-30 GT dalam mendapatkan pembiayaan dari lembaga keuangan guna mengganti alat tangkap, dan  memberikan fasilitas pelayanan perizinan pusat melalui gerai perizinan untuk kapal cantrang lebih dari 30 GT.Â
Langkah - langkah pemerintah tersebut harusnya bisa kita apresiasi demi menjaga kelestarian sumberdaya ikan perairan kita, pihak - pihak terkait yang selama ini masih getol mengkompori nelayan untuk menuntut pencabutan pelarangan tersebut harusnya berfikir solusi yang lebih konkrit kedepan, bagaimana sumberdaya ikan tetap lestari dan nelayan bisa tetap bekerja dan memperoleh hasil untuk meningkatkan traf hidupnya, salah satunya bisa membantu pemerintah mensosialisasikan dan mengevaluasi kebijakan - kebijakan yang telah diambil.
Banyak mungkin dari kita yang masih belum memahami kenapa pemerintah memberlakukan aturan pelarangan tersebut, banyak faktor yang menjadi dasar pemikiran pelarangan tersebut, untuk itu mari kita kenali alat tangkap cantrang secara detail dan berbagai konflik serta dampak yang ditimbulkan.
Cantrang merupakan alat penangkapan ikan yang bersifat aktif dengan pengoperasian menyentuh dasar perairan. Cantrang dioperasikan dengan menebar tali selambar secara melingkar, dilanjutkan dengan menurunkan jaring cantrang, kemudian kedua ujung tali selambar dipertemukan. Kedua ujung tali tersebut kemudian ditarik ke arah kapal sampai seluruh bagian kantong jaring terangkat.Â
Penggunaan tali selambar yang mencapai panjang lebih dari 1.000 m (masing-masing sisi kanan dan kiri 500 m) menyebabkan sapuan lintasan tali selambar sangat luas. Ukuran cantrang dan panjang tali selambar yang digunakan tergantung ukuran kapal. Pada kapal berukuran diatas 30 Gross Ton (GT) yang dilengkapi dengan ruang penyimpanan berpendingin (cold storage),cantrang dioperasikan  dengan tali selambar sepanjang 6.000 m. Dengan perhitungan sederhana, jika keliling lingkaran 6.000 m, diperoleh luas daerah sapuan tali selambar adalah 289 Ha.  Penarikan jaring menyebabkan terjadi pengadukan dasar perairan yang dapat menimbulkan kerusakan dasar perairan sehingga menimbulkan dampak signifikan terhadap ekosistem dasar bawah laut. baca selengkapnya di " Kenali cantrang, dan mengapa dilarang "
Seperti apa yang sering presiden sampaikan bahwa kita ini dari dulu masih sibuk dengan polemik cantrang, sehingga lupa akan pentingnya inovasi dibidang penangkapan ikan, kita kedepan sudah saatnya fokus pada pemanfaatan sumberdaya perikanan yang mengedepankan kelestarian ekositem dan konservasi, sudah harus berfikir tentang pemanfaatan sumberdaya ikan yang ramah lingkungan, meminimalkan dampak yang merusak, mengeksploitasi sumberdaya dengan terukur dan terencana sehingga sumberdaya perikanan tetap seimbang dan tidak terjadi over fishing, selain itu pemanfaatan sumberdaya perikanan berbasis pemberdayaan masyarakat nelayan dan pesisir harus jadi perioritas utama, jangan terus kita terkungkung dengan polemik yang seharusnya bisa kita atasi, dengan kualitas sumberdaya manusia kita serta melimpahnya sumberdaya alam kita. jangan sampai kepentingan sesaat membutakan kita untuk terus berkutat pada hal yang justru akan membuat sektor kelautan dan perikanan kita hancur dan hanya dinikmati oleh segelintir orang yang memiliki kapital besar.Â
Kesadaran nasional terkait pentingnya pemanfaatan sumberdaya perikanan yang tepat di barengi dengan kelestarian ekosistem perikanan serta pemberdayaan masyarakat haruslah kita galakan semua pihak baik pemerintah, pengusaha, akademisi, lembaga swadaya, dan nelayan harus bersama - sama memikirkan masa depan kelautan dan perikanan yang lebih baik, jangan sampai kita dimanfaatkan oleh kepentingan - kepentingan yang hanya akan mengeksploitasi kekayaan laut kita untuk kepentingan sendiri, berjalan bersama membangun kelautan dan perikanan sesuai kapasitas masing - masing.
" Manfaatkan dengan bijak sumberdaya alam kita, karena Tuhan menciptakan alam ini untuk kita manfaatkan secara bijak, alam akan mampu memenuhi kebutuhan kita tapi alam tidak akan mamapu memenuhi keinginan kita "
Sumber tulisan :
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H