Dirgahayu Indonesia!
Menyambut peringatan kemerdekaan Indonesia, lingkungan kita tentu bertambah semarak dengan berbagai atribut seperti lampu warna-warni, umbul-umbul, bendera dan pernak-pernik lainnya.Â
Beragam kegiatan pun tak kalah ramai diadakan, mulai dari berbagai lomba dengan tema perjuangan, karnaval, tirakatan hingga upacara memperingati detik-detik kemerdekaan.
Nah, senada dengan tema kemerdekaan, dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun kemerdekaan Republik Indonesia yang ke 77 tahun ini, Soerakarta Walking Tour mengadakan Walking Tour dengan rute spesial: Peristiwa Empat Hari di Solo!
Bertepatan dengan hari peringatan kemerdekaan kemarin Rabu, 17 Agustus 2022, kami berkumpul di Plaza Manahan sekitar jam 9 pagi untuk walking tour bersama menjelajahi jejak sejarah peristiwa Empat Hari di Solo.Â
Untuk rute kali ini, kami tak hanya berjalan kaki, namun juga menggunakan bus sebagai sarana transportasi mengantarkan kami ke titik-titik bersejarah di kota Solo.
Titik yang kami kunjungi pertama kali adalah Taman Monumen 45 Banjarsari. Memasuki Kawasan Monumen pagi itu, masih tampak keramaian siswa sekolah yang baru saja selesai mengikuti upacara kemerdekaan di sana.Â
Monumen 45 Banjarsari memang dijadikan ruang terbuka untuk publik, dengan adanya sarana taman bermain, arena olahraga hingga taman kota.
Monumen 45 Banjarsari atau biasa disebut Monjari, merupakan sebuah monumen yang dibangun untuk mengenang perjuangan rakyat Solo terutama dalam Serangan Umum Empat Hari pada tanggal 7-10 Agustus 1949 yang digagas oleh Letkol Slamet Riyadi dan Mayor Achmadi.Â
Meskipun kemerdekaan Indonesia sudah diproklamirkan pada tahun 1945, namun nyatanya Indonesia khususnya kota Solo belum merdeka sepenuhnya. Di monumen ini, kita bisa melihat relief yang menggambarkan bagaimana rakyat Solo memperjuangkan kemerdekaan.
Lanjut ke titik kedua, kami berjalan kaki menuju monumen Mayor Achmadi yang terletak tak jauh dari Monumen 45 Banjarsari, di tengah Jalan Abdul Rachman Saleh.Â
Monumen ini mengabadikan Mayor Achmadi dalam bentuk patung dengan senjata di tangan kanan dan buku di tangan kiri yang menggambarkan sosok Mayor Achmadi sebagai sosok pejuang yang juga mengimbangi tugasnya sebagai seorang pelajar.
Mayor Achmadi juga dikenal sebagai pemimpin tentara pelajar dalam Serangan Umum Empat Hari di Solo. Di seberang monument Mayor Achmadi, terdapat sebuah bangunan rumah kuno yang konon pernah menjadi markas tentara pelajar di Solo.
Melanjutkan perjalanan, bus mengantarkan kami ke titik berikutnya yaitu Monumen Pasar Nongko. Meskipun jalan di sekitar monumen cukup ramai, banyak dilewati orang setiap hari, nyatanya tak banyak orang yang menyadari adanya monumen di sini.Â
Ya, di sebelah timur Pasar Nongko, dibangun sebuah monumen di persimpangan jalan RM Said - Supomo, yang mencatat peristiwa Serangan Empat Hari di Solo.
Monumen Pasar Nongko ini berupa prasasti yang menandai peristiwa dibantainya rakyat sipil oleh tentara Belanda di daerah Pasar Nangka pada rangkaian Serangan Empat Hari di Kota Solo.Â
Dalam prasasti ini tertulis "Lebih Baik Mati Berkalang Tanah Daripada Hidup Dijajah" dengan deretan nama korban pembantaian di bagian belakang. Tragisnya, diantara nama-nama korban, terdapat anak kecil (bayi) yang juga menjadi salah satu korban.
Perjalanan berikutnya, kami menuju Monumen "Setya Bhakti" Sriwedari di belakang GOR Bhineka, dekat pasar kembang. Monumen ini berupa sebuah batu besar dengan patung garuda dan terdapat tulisan mengenang peristiwa 9 Agustus 1949 dengan deretan nama para korban pembantaian. Tampak banyak bunga tabur di monumen ini, menandai masih dikenangnya para korban.
Titik jelajah jejak sejarah selanjutnya, kami menuju Monumen Pasar Gading, berupa Prasasti "Kebhaktian Rakyat" yang diresmikan tahun 1987 untuk mengenang Peristiwa Empat Hari di Solo dengan Pejuang Kemanusiaan Palang Merah Indonesia (PMI) sebagai korban pembantaian pasukan Belanda.
Dari Monumen Pasar Gading, kami mengunjungi Rumah Pahlawan Nasional Brigjen Slamet Riyadi di daerah Jogosuran Serengan Solo. Rumah yang didominasi warna hijau itu tampak sederhana, dengan bangunan khas Jawa, terdapat foto-foto almarhum Brigjen Slamet Riyadi di dalamnya.
Saat ini, rumah tersebut ditinggali oleh kemenakan dari Brigjen Slamet Riyadi, yaitu ibu Siti yang seusia dengan kemerdekaan Indonesia, 77 tahun. Ibu Siti menyambut kami dengan ramah dan menceritakan kisah Brigjen Slamet Riyadi yang gugur di Ambon pada tahun 1950.
Selepas mengunjungi Rumah Brigjen Slamet Riyadi dan beristirahat sejenak di sana, kami menuju ke Monumen Panularan yang juga merupakan destinasi terakhir dari Jelajah Sejarah Peristiwa Empat Hari di Solo ini.Â
Monumen yang terdapat di halaman sebuah rumah kuno ini berupa prasasti yang menjadi tanda tempat perundingan pelaksanaan Cease Fire antara Letkol Slamet Riyadi dengan pihak Belanda pada tanggal 11 Agustus 1949 atas dasar perintah Presiden Soekarno.
Menutup rangkaian kegiatan walking tour rute spesial kemerdekaan kali ini, kami pun kembali ke titik kumpul awal dan mengakhiri acara.
Mengikuti jelajah sejarah Peristiwa Empat Hari di Solo ini, tentu kita semakin menyadari bahwa perjuangan bangsa kita untuk meraih kemerdekaan, bukanlah hal yang mudah. Berbagai lapisan masyarakat, termasuk para pelajar berusia belasan tahun pun turut andil dalam berjuang.Â
Untuk itu sebagai generasi berikutnya, kita bisa meneruskan semangat perjuangan para pahlawan dengan melakukan hal-hal yang bermanfaat atas dasar Pancasila dalam mengisi kemerdekaan.
Merdeka!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H