Seperti tahun-tahun sebelumnya, acara "Bakdan Ning Sala" selalu sukses digelar. Ya, acara yang telah tiga tahun berturut-turut diadakan dalam rangka menyambut momen lebaran ini selalu menyedot animo pengunjung serta berhasil menghibur ribuan penontonnya. Dan tahun ini merupakan tahun keempat diadakannya acara yang diharapkan bisa melestarikan serta mengembangkan kebudayaan di kota Solo ini.
Dikemas dalam sebuah pertunjukan opera tari kolosal yang melibatkan sedikitnya seratus penari di suatu panggung terbuka, acara ini menampilkan lakon yang berbeda setiap tahunnya. Antara lain: Anoman Obong (2015), Sang Anoman (2016), Rama Tambak-Kumbokarno Gugur (2017) dan Goa Kiskendo (2018).
Bagian dalam benteng ini sangat luas hingga bisa menampung ribuan penonton sekaligus stand-stand bazar dari berbagai UKM yang menjual makanan serta merchandise dari Solo. Di bagian tengah, terlihat kursi-kursi yang telah ditata menghadap ke bagian panggung dan karpet tepat di bagian depan panggung bagi penonton yang ingin duduk lesehan.
Rintik-rintik hujan yang turun dan membasahi kursi nyatanya tak menyurutkan animo masyarakat untuk tetap menonton pagelaran, bahkan beberapa penonton tampak telah bersiap membawa payung. Benar saja, pada pembukaan acara, tetes hujan semakin terasa, namun acara terlalu menarik untuk dilewatkan begitu saja. Beruntung, hujan segera berlalu hingga acara bisa berlanjut sesuai harapan.
Pagelaran ini tampak begitu megah dan spektakuler dengan tata dekorasi panggungnya yang menampilkan sebuah goa dengan pepohonan beringin asli di sekitarnya, membawa kita seolah tengah berada di hutan yang sesungguhnya. Efek asap yang menyesuaikan pada beberapa bagian acara dan efek cahaya warna-warni dari sorot lampu yang semakin menambah kesan dramatis. Totalitas penampilan dari para pemain dan penari kolosalnya hingga efek suara yang merupakan perpaduan musik tradisional dan modern pun semakin menambah kemegahan dan spektakulernya pertunjukan.
Goa Kiskendo yang merupakan lakon dari opera "Bakdan Ning Sala" tahun ini merupakan salah satu Epos Ramayana. Sebuah kisah luar biasa yang menceritakan kehidupan manusia di alam semesta yang dibumbui dengan adanya makhluk kera dan raksasa. Ya, raksasa menggambarkan kerakusan makhluk bumi untuk mengeksploitasi kekayaan alam semesta hingga merusaknya sedangkan kera digambarkan sebagai makhluk yang senantiasa menyatu dengan alam dan selalu berusaha mewujudkan kesempurnaan diri hingga menjadi seperti manusia.
Seperti yang dikisahkan, ketika makhluk berwujud kera ini bertapa menyatu dengan alam dan menumpahkan segala cintanya kepada alam semesta, maka semesta raya akan membalasnya dengan berbagai macam berkah kepadanya. Dan seperti banyak kisah yang telah kita ketahui, kebaikan akan selalu menang melawan kejahatan. Itulah hukum karma yang berlaku abadi.
Menyaksikan pagelaran ini sungguh membuat kita takjub, betapa sesungguhnya negara kita ini begitu kaya akan warisan budaya yang perlu kita lestarikan dan terus kita kembangkan, sebagai jati diri bangsa. Seni dan budaya inilah yang bisa menjadi sarana untuk menyampaikan pesan-pesan dan nilai-nilai moral bagi generasi penerus kelak.
Nawa Sri
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H