Mohon tunggu...
Nawa Sri
Nawa Sri Mohon Tunggu... Wiraswasta - Be Grateful to be ME...

Pembelajar, suka membaca dan sangat berminat untuk terus menulis. Tertarik dalam pengembangan diri, parenting, perencanaan keuangan serta gaya hidup sehat nan ramah lingkungan. https://nawasri.wordpress.com Email: ms.nawa@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Indahnya Perayaan Waishaka Puja Raya Berbalut Pergelaran Seni di Candi Putih, Solo

4 Juni 2017   13:48 Diperbarui: 5 Juni 2017   04:33 1394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sendratari Mahakapi Jataka. Foto: Aditya

Keramaian tampak di Vihara Dhamma Sundara Pucang Sawit Solo, yang dikenal dengan candi putihnya, kemarin petang (3/6). Banyak kendaraan terparkir mulai dari halaman parkir Vihara hingga kanan kiri bahu jalan di sekitarnya. Beberapa polisi pun tampak mengatur lalu lintas dan berjaga-jaga di depannya. Ya, pagelaran seni dan budaya memang sedang dilangsungkan dalam rangka perayaan Waisakha Puja Raya 2561 BE/2017.

Acara yang menarik di antara deretan Calendar Event Kota Solo 2017 ini memang cukup menyedot animo masyarakat. Selain dihadiri oleh umat vihara dan para bikhu, acara ini turut dihadiri pula oleh para tokoh lintas agama, perwakilan Kementerian Pariwisata Solo hingga masyarakat sekitar dengan berbagai macam latar belakang dan agama.

Mengusung tema “Mewujudkan Cinta Kasih Menjaga Kebhinnekaan”, acara ini menyuguhkan pagelaran seni dan budaya yang cukup spektakuler. Diawali dengan panitia acara mengajak para hadirin untuk berdiri dan menyanyikan lagu “Indonesia Raya” secara bersama-sama, kemudian deretan panitia menyanyikan Puja Bakti Waisak yang diikuti dengan deklarasi “Saya Indonesia, Saya Pancasila”. Acara pun berlanjut dengan persembahan puja oleh muda mudi Vihara, laporan ketua panitia hingga pergelaran tari.

Puja Bakti Waisak. Foto: Aditya
Puja Bakti Waisak. Foto: Aditya
Berlatar belakang Candi Putih di bagian belakang panggung, acara tampak begitu megah. Ditambah lagi dengan adanya sorot lampu yang terlihat dramatis, special effect panggung serta iringan musik gamelan dari para mahasiswa jurusan karawitan ISI Surakarta, acara semalam memang benar-benar mengagumkan. Pagelaran tari dimulai dari dua siswi sekolah minggu vihara, menampilkan tari Soyong. Kemudian dilanjutkan dengan tari Buddha Pelita Dunia oleh para mahasiswi Sekolah Tinggi Agama Buddha.
Tari Soyong. Foto: Aditya
Tari Soyong. Foto: Aditya
Acara dilanjutkan dengan pesan Waisak 2561 BE/ 2017 oleh YM. Bhikkhu Sri Pannavaro Mahathera. Beliau memulai pesannya dengan cerita mengenai pangeran Siddharta yang rela meninggalkan kehidupan mewah dan nyamannya di istana karena melihat banyak penderitaan di luar. Sang Pangeran menjadi pertapa yang sangat miskin, hidup sengsara di gua maupun bawah pohon. Demi mendapatkan pencerahan, mengapa makhluk harus hidup menderita? Merasakan kesedihan, keresahan, kegagalan serta ratap tangis. Tentu ada jalan untuk membebaskan semua makhluk dari penderitaan ini. Dan jalan itu adalah kasih sayang atau cinta kasih.
Tari Buddha Pelita Dunia. Foto: Aditya
Tari Buddha Pelita Dunia. Foto: Aditya
Salah satu landasan agama Buddha adalah cinta kasih (metta). Kita semua adalah sahabat, agama apapun adalah sahabat kita. Yang menyukai maupun membenci kita juga sahabat kita. Yang memusuhi maupun yang mengasihi, yang menyakiti maupun yang menyayangi kita pun juga sahabat kita. Bahkan yang tampak maupun yang tidak tampak, itu juga sahabat kita. Dalam ajaran cinta kasih, tidak ada yang menjadi musuh kita. Ajaran metta juga mengajarkan kita untuk tidak hanya menghargai tetapi juga menerima perbedaan dengan ketulusan.
Tari Nginang. Foto: Aditya
Tari Nginang. Foto: Aditya
Dalam kehidupan ini, tidak ada yang benar-benar sama. Antara satu dengan yang lain tentu ada perbedaannya. Salah satu pujangga besar Buddhist, Empu Tantular pun pernah menulis dalam lontar sutasoma: “Siwa Buddha Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa”. Agama Siwa (Hindu) dan Buddha meskipun berbeda tapi tetap satu karena kebenaran tiada duanya. Pada masa itu hanya ada dua agama, yaitu Siwa dan Buddha. Mungkin kalau di masa itu sudah terdapat banyak agama pun mungkin juga akan disebut semua.

Meski pencetus Bhinneka Tunggal Ika adalah dari Buddhist, tapi bikkhu menyarankan umat Buddha tak perlu berbangga hati karena kebanggaan bisa menjadi kotoran batin. Bhinneka tunggal ika kini milik bangsa Indonesia, milik semua agama. Kebenaran adalah satu dan kemanusiaan adalah suatu kebenaran.

Seseorang yang memiliki cinta kasih pada hakikatnya adalah orang yang mampu mengendalikan diri dari perbuatan buruk. Orang yang mampu menghindari perbuatan buruk, mampu menghargai hidupnya sendiri serta memuliakan hidup orang lain. Cinta kasih itu menjaga diri kita dan menjaga orang lain. Selain mengendalikan diri seseorang yang mempunyai cinta kasih adalah orang yang mudah memaafkan dengan ketulusan. Maafkanlah dengan ketulusan hati, itulah wujud dari cinta kasih.

Memaafkan bisa memberikan rasa aman bagi orang lain karena mereka merasa kita tidak akan membalasnya. Spiritualitas kita pun akan meningkat karena kita membersihkan diri dari kebencian, keserakahan serta semua kotoran batin. Permusuhan tidak akan selesai dengan permusuhan. Permusuhan hanya akan selesai jika kita berhenti memusuhi. Ini adalah hukum alam yang lama sekali.

Acara malam itu pun dilanjutkan dengan pertunjukan tari Nginang dan puncak acaranya adalah pagelaran sendratari Mahakapi Jataka sebagai sajian utama dalam perayaan waisak ini. Sendratari ini memang selain bertujuan untuk memperkaya pesan dharma, sekaligus juga melestarikan seni serta kebudayaan Indonesia.

Sendratari Mahakapi Jataka. Foto: Aditya
Sendratari Mahakapi Jataka. Foto: Aditya
Sendratari Mahakapi Jataka ini sendiri menceritakan tentang seekor raja kera yang mengorbankan hidupnya untuk menyelamatkan ribuan rakyatnya dari perburuan seorang raja. Dalam Buddha, terdapat keyakinan akan adanya lebih dari satu kelahiran. Dan dalam salah satu kelahirannya, pangeran Sidharta pernah dilahirkan sebagai seekor raja kera.

Sebagaimana dikisahkan, raja kera ini sangat welas asih menyelamatkan rakyatnya dari keserakahan seorang raja manusia yang ingin memperebutkan pohon buah semacam mangga. Ketika rakyatnya dikepung, sang raja kera rela mengorbankan tubuhnya sendiri sebagai jembatan demi menyelamatkan rakyatnya agar dapat menyeberangi sungai. Namun ada seekor kera nakal yang justru menendang punggung sang raja, hingga punggung sang raja patah dan akhirnya meninggal.

Foto: Aditya
Foto: Aditya
Menyaksikan semua ini, sang raja pun tersadar akan kebijaksanaan raja kera. Meski tak terucap melalui lisan, namun dharma dari raja kera bisa dilihat dari pengorbanannya menyelamatkan rakyatnya. Pemimpin yang sejati tentu adalah pemimpin yang memiliki cinta kasih. Dia rela berkorban demi kesejahteraan rakyatnya.
Foto: Aditya
Foto: Aditya
Begitulah, pagelaran seni dan budaya dalam perayaan waisakha ini tentu bertujuan tak hanya memberikan kesan namun juga pesan mendalam bagi kita. Bagaimana ajaran-ajaran agama, petuah-petuah bijak serta dharma bisa disajikan secara apik melalui kekayaan budaya. Pesan-pesan, nilai-nilai pitutur serta nasihat dalam kekayaan budaya inilah jatidiri kita. Semoga semua makhluk berbahagia. Semoga semua makhluk diliputi dengan cinta kasih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun