Ada uang abang di sayang
tak ada uang abang di tendang
(Penggalan lirik lagu dangdut)
Pasca Orde Baru runtuh, terlihat perubahan-perubahan penting di setiap tubuh politik. Gerakan reformasi telah memecah konsentrasi kekuatan politik Orde Baru menjadi beberapa kutub-kutub politik baru yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Salah satu buah dari Gerakan Reformasi yakni dengan di selenggarakannya Pemilihan Umum (Pemilu) secara langsug yang berasaskan Jurdil (jujur dan adil) + Bersih. Pemiilihan Umum (Pemilu) merupakan institusi modern yang telah menjadi tanda bagi Negara yang mengklaim telah menganut sistem pemerintahan yang di dasari oleh Demokrasi. Meurut Sigit Pamungkas bahwa pemilu merupakan sarana rakyat untuk berdaulat atas dirinya sediri. Sehingganya pemilu harus di selenggarakan secara berkualitas. Terkait dengan hal ini, yang mejadi pertanyaan bagaimanakah budaya politik pemilih dalam pemilu? Apakah budaya politik pemilih dapat meningkatkan kualitas pemilu atau malahan sebaliknya.
Secara umum budaya politik pemilih dimaknai sebagai orientasi sikap pemilih dalam pemilu. Orientasi ini meliputi kepercayaan atau penghetahuan, perasaan atau afeksi dan penilaian terhadap pemilu secara umum. Menurut Sigit Pamungkas dalam bukunya tentang Pemilu, Perilaku Pemilih dan Kepartaian bahwa ada tiga bentuk klasifikasi pemilih pada pemilu di Indonesia. Pertama, budaya politik pemilih pragmatis. Budaya pemilih pragmatis ini akan menjadikan cost pemilu semakin meningkat. Istilahnya “ada uang ada barang”. Bagaimana tidak, bagi setiap pemilih yang ingin beraktivitas dalam pesta demokrasi ini semuanya harus ada kompensasi “no free lunch”. Bagi partai politik atau kandidat tidak dapat berharap terlalu banyak untuk mendapatkan dukungan suara apabila mereka tidak mampu memberikan kompensasi kepada pemilih. Fenomena “no free lunch” ini marak dijumpai pada pemilu Legislatif dan Presiden Wapres pada tahun 2004, 2009 dan semakin meningkat pada tahun 2019.
Kedua, budaya politik pemilih kompromistik. Dalam budaya ini pemilih berada di tengah antara budaya pragmatis dan budaya idealis. Anggapan pada budaya ini bahwa pemilihan secara voting merupakan kewajiban terhadap Negara dan secara bersamaan jika diberikan kompensasi tidak menjadi sebuah persoalan. Salah satu perbedaan dengan budaya pemilih pragmatis terletak pada kompensasi. Jika pada budaya pragmatis, kompensasi di jadikan sebagai faktor utama untuk mempengaruhi perilaku pemiilih, maka pada budaya ini kompensasi bukan menjadi faktor utama untuk mempegaruhi perilaku pemilih, namun ada faktor lain.
Ketiga, budaya politik pemilih idealis. Dalam budaya politik idealis, pemilih melihat pemilu merupakan sarana untuk memperjuangkan idealis. Bagi pemilih idealis, pemilu merupakan arena ideal untuk memperjuangkan ideologi. Aktivitas pemilih dalam pemilu di dorong oleh motif-motif yang bersifat untuk memperjuangkan nilai-nilai tertentu. Akibatnya pemilih berpartisipasi dalam pemilu secara sukarela dan penuh kesadaran. Budaya politik seperti ini menjadikan pemilu dilaksanakan secara murah. Namun budaya pemilih ketiga ini di era sekarang tentun jarang sekali dijumpai.
Menanti Serangan Menjelang Fajar
Ada uang abang di sayang, tak ada uang abang di tendang. Mendengar sepenggal lagu dangdut ini terpintas dalam benak penulis mengenai fenomena pemilihan umum di Indonesia. Hampir semua pemilih menjelang detik-detik hari pencoblosan menunggu serangan fajar. Istilah serangan fajar karena fenomena ini biasanya intens dilakukan di malam hari atau menjelang subuh. Entah kapan istilah ini muncul dan melekat di setiap momen pemilihan umum. Namun yang jelas bahwa para calon jangan berharap lebih jika tidak ada serangan fajar yang diberikan ke masyarakat. Bahkan sekarang ini banyak status di media sosial yang bermunculan hanya sekedar menanyakan kapan tim atau paslon memberikan uang. Apakah ini sekedar candaan belaka, ataukah akutnya budaya politik uang atau serangan fajar sehingga hal ini tampak biasa-biasa saja.
Fenomena serangan fajar masuk pada kategori budaya politik menurut Sigit Purnomo. Banyak hal yang kemudian bisa saja terjadi, mengapa fenomena serangan fajar semakin marak terjadi dan menjadi sesuatu yang sangat dinantikan disetiap perhelatan pemilu. Bisa saja masyarakat telah jenuh dengan keadaan ekonomi. Menurut pemilih ketika para calon terpilih nantinya janji-janji politik hanya menjadi bualan semata. Jika para calon nantinya akan dilantik, kehidupan mereka akan biasa-biasa saja. Masyarakat yang berusaha secara mandiri untuk meningkatkan perekonomian. Bisa juga partai politik tidak pernah memiliki komitmen untuk melawan money politic. Boro-boro memberikan edukasi, malahan praktek serangan fajar justru dihalalkan oleh partai politik itu sendiri. Logikanya adalah jika partai politik tidak melakukan hal ini, maka masyarakatpun tidak pernah berharap datangnya serangan fajar. Fenomena ini ternyata menjadi satu-satunya alasan kedepan ketika masyarakat menagih janji-janji politik disaat kampanye. Jawaban mereka sangat menyedihkan bahwa suara masyarakat telah mereka beli. Sungguh jawaban yang sangat mencederai hati rakyat namun masuk akal. Karena masyarakat memilih bukan karena visi misi atau hal terbaik lainnya, melainkan karena menjual suara demi kepentingan sesaat.
Fenomena serangan fajar yang demikian pastilah hanya puncak dari gunung es yang ada, sebab praktik money politic seperti ini merupakan sebagian saja dari pola "money games"(permainan uang) dalam proses pemilihan umum. Jenis lain yang tidak kalah bahayanya yaitu munculnya "shadow state" (William Reno, 1990). Bentuk shadow state ini hadir dalam pola kekuasaan kepala daerah yang menjalankan pemerintahan dengan memberikan peran dan keuntungan sesuai kepentingan pemilik modal yang telah berjasa dalam mendukung pencalonannya.