Seiring berkembanya zaman ke zaman setiap di lingkungan masyarakat menganggap bahwasannya seorang yang melakukan perbuatan yang salah harus dibalas dengan balasan yang setimpal. Terkadang bentuk pembalasan tersebut disalahgunakan oleh beberapa oknum yang tinggal di masyarakat tersebut. Contohnya seperti ada seseroang mencuri barang milik orang lain, apabila pencuri tersebut tertangkap biasanya akan dihakimi langsung oleh orang yang menangkap pelaku pencurian tersebut, seperti berupa pelaku tersebut langsung dipukuli/dianiaya.Â
Terkadang pembalasan yang dialami oleh pelaku bisa saja berlebihan, yang mana hak tersebut menimbulkan pertikaian secara terus menerus. Karena adanya pembalasan yang dilakukan berlebihan terhadap pelaku menimbulkan rasa dendam dari seorang pelaku pencurian tersebut yang bisa menyebabkan tindak kekerasan secara terus menerus sehingga nantinya terjadi pertumpahan darah yang tidak ada hentinya.
Selanjutnya perlu diketahui bahwasanya dalam penyelesaian perkara pidana kemudian dibagi menjadi dua bagian yaitu penyelesaian perkara pidana dalam ranah litigasi dan non litigasi. Penyelesaian perkara pidana dalam ranah litigasi dalam hal ini merujuk pada penyelesaian perkara yang dilakukan dalam ranah pengadilan. Sementara itu, penyelesaian perkara pidana dalam ranah non litigasi merupakan bentuk penyelesaian perkara di luar pengadilan.
 Adapun dalam pelaksanaan penyelesaian perkara di luar pengadilan tersebut sendiri dikenal suatu konsep yang dikenal dengan nama Restorative Justice. Lebih lanjut lagi, salah satu bentuk penerapan dari Restorative Justice adalah mediasi yang dalam hal ini bertujuan untuk mencapai kesepakatan perdamaian antara kedua belah pihak sehingga proses penyelesaian perkara tidak akan masuk pada tahap persidangan di pengadilan.
Berdasarkan dengan SK Dirjen Badan Peradilan Umum Nomor 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 tentang Pemberlakuan Pedoman Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) menyatakan bahwasannya prinsip Restorative Justice adalah salah satu prinsip penegakan hukum dalam penyelesaian perkara yang dapat dijadikan instrument pemulihan dan sudah dilaksanakan oleh mahkamah agung dalam bentuk pemberlakuan kebijakan.Â
Restorative Justice merupakan suatu model pendekatan dalam penyelesaian pekara pidana, yang mana hal tersebut melakukan pendekatan antara korban dan pelaku tindak pidana untuk mencapai keadilan. Harus kita ketahui bahwasannya hukum pidana itu bersifat Ultimum Remidium yang artinya pemberian suatu pidana itu adalah obat terakhir, yang artinya sebelum seorang pelaku tindak pidana dibawa ke ranah litigasi diupayakan untuk penyelesaian masalah di luar pengadilan yaitu berupa mediasi.
Prinsip dasar Restorative Justice merupakan adanya pemulihan kepada korban yang menderita akibat kejahatan dengan memberikan ganti rugi kepada korban, pedamaian, pelaku melakukan kerja sosial maupun kesepakatan kesepakatan lainnya. Hukum yang adil apabila kita liha dari kacamatan Restorative Justice tentunya tidak berat sebelah, tidak memihak, tidak sewenang wenang, dan hanya berpihak pada kebenaran sesuai aturan perundang undangan yang berlaku serta mempertimbangkan kesetaraan hak kompensasi dan keseimbangan dalam setiap aspek kehidupan.
Apabila seorang anak sebagai pelaku tindak pidana disebut dengan anak yang delikuen atau dalam hukum pidana dikatakan sebagai juvenile delinquency. Romli Atmasasmita berpendapat bahwa juvenile delinquency adalah setiap perbuatan atau tingkah laku seorang anak di bawah umur 18 Tahun dan belum kawin yang merupakan pelanggaran terhadap norma norma hukum yang berlaku serta dapat membahayakan perkembangan pribadi anak.Â
Menghadapi dan menanggulangi berbagai masalah tersebut, perlu dipertimbangkan kedudukan anak dengan segala ciri dan sifat yang khas sebagai pelaku tindak pidana. Tidak melihat apakah perbuatan itu berdasarkan pikiran, perasaan dan kehendaknya namun harus juga melihat berbagai hal yang dapat mempengaruhi anak melakukan perbuatan pidana. Oleh karenanya, diperlukan peran dari orang tua dan masyarakat sekelilingnya.
Dalam menangani anak sebagai pelaku tindak pidana, aparat penegak hukum senantiasa harus memperhatikan kondisi anak yang berbeda dari orang dewasa. Sifat dasar anak sebagai pribadi yang masih labil, masa depan anak sebagai aset bangsa, dan kedudukan anak di masyarakat yang masih membutuhkan perlindungan dapat dijadikan dasar untuk mencari suatu solusi alternatif bagaimana menghindarkan anak dari suatu sistem peradilan pidana formal, penempatan anak dalam penjara, dan stigmatisasi terhadap kedudukan anak sebagai narapidana.
 Salah satu solusinya adalah dengan mengalihkan atau menempatkan pelaku tindak pidana anak keluar dari sistem peradilan pidana. Artinya tidak semua masalah perkara anak nakal mesti diselesaikan melalui jalur peradilan formal, dan memberikan alternatif bagi penyelesaian dengan pendekatan keadilan demi kepentingan terbaik bagi anak dan dengan mempertimbangkan keadilan bagi korban yang dikenal dengan pendekatan restorative justice.Â