Mohon tunggu...
Nawal
Nawal Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Psikologi yang memiliki minat dalam bidang kepenulisan

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Perkelahian Anak-anak (Sibling Conflict) Ditinjau dari Sudut Pandang Psikologis

4 Agustus 2022   00:10 Diperbarui: 4 Agustus 2022   00:15 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Malam itu di suatu TPA (Tempat Pengajian Anak),

Terdapat dua kakak beradik yang menarik perhatian saya. Mereka terlihat tidak dekat satu sama lain, meskipun sang adik berusaha mendekati kakaknya. Tak terhitung beberapa kali sang kakak mengucapkan kalimat-kalimat yang menolak eksistensi sang adik. Bahkan hingga memanggilnya anak haram. Puncak kemarahan sang kakak terlihat ketika ia tidak segan-segan memukul kepala sang adik hingga membuatnya menangis dan terluka.

Setelah memukul pun sang kakak tidak menunjukkan raut wajah penyesalan atau rasa bersalah. Saat saya menanyakan mengapa ia tidak kasihan dengan sang adik, kakak mengatakan bahwa dia tidak merasa bersalah dan hal tersebut merupakan hal yang wajar. Hal tersebut membuat saya keheranan karena kejadian di atas tidak dipicu oleh kejadian tertentu.

Oleh karena itu, saya tertarik untuk membahas pertengkaran anak-anak dari perspektif psikologis. Selain berasal dari referensi jurnal, saya juga mendapatkan informasi lebih lanjut terkait hubungan kakak beradik dari beberapa teman dan ibu guru ngaji.

Apa Itu Perkelahian Anak-anak (Sibling Conflict)?

Bagi kebanyakan orang, hubungan saudara kandung atau sibling relationship merupakan hubungan jangka panjang yang mereka miliki, dimulai dengan saat mereka lahir hingga berakhir saat salah satu dari mereka meninggal dunia. Saudara kandung menghabiskan lebih banyak waktu bersama daripada dengan orangtua mereka sehingga memainkan peran yang krusial dalam perkembangan masing-masing individu (Qian et al., 2020).

Hubungan saudara kandung terbagi menjadi dua jenis, yaitu hubungan hangat dan konflik antar saudara. Hubungan yang hangat menggambarkan aspek-aspek hubungan positif seperti keintiman, kasih sayang, dukungan, persahabatan, dan kedekatan. Sedangkan konflik saudara kandung terdiri dari aspek negatif seperti berdebat, bertengkar berkelahi, agresi, permusuhan, dan sebagainya (Buist et al., 2013). Ketika anak-anak memiliki hubungan saudara yang hangat, mereka akan cenderung lebih baik dalam menggunakan strategi pemecahan masalah yang konstruktif untuk menyelesaikan konflik antar saudara daripada anak-anak yang sering berkelahi (Recchia & Howe, 2009).

Konflik merupakan ciri umum yang sering terjadi dalam hubungan saudara kandung. Namun jika konflik ini terjadi secara berkepanjangan dapat menyebabkan anak mengalami ketidakmampuan dalam menyesuaikan diri dan masalah dalam fungsi sosial (Lindell et al., 2013). Konflik saudara kandung sering terjadi pada masa anak-anak awal dan menengah. Konflik ini seringkali tidak terselesaikan dengan baik. Ketika konflik berakhir dengan sang adik yang pasrah dan menyerah, sang kakak biasanya akan muncul sebagai pemenang. Hal ini menyebabkan sang kakak menikmati dominasi dan kekuatannya pada sang adik (Recchia & Howe, 2009).

Konflik saudara kandung terdiri lima jenis, yaitu saling menolak untuk membantu dan bekerja sama satu sama lain, menolak untuk berbagi satu sama lain, menyerang secara agresif, kecenderungan menceritakan kesalahan lain ke orangtua, dan kecenderungan merusak milik orang lain (Pinastikasari, 2022). Selain itu, jenis konflik lainnya dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu konflik secara fisik dan psikologis. Contoh konflik secara fisik adalah memukul, menggigit, menampar, mendorong, mencubit, dan agresi fisik lainnya. Sedangkan bentuk konflik secara psikologis adalah perilaku non-fisik yang dilakukan dengan tujuan untuk menyakiti seseorang secara psikologis atau emosional seperti menggoda secara berlebihan, memanggilnya dengan nama hewan, dan konfrontasi verbal (Relva et al., 2013).

Pada kasus salah satu kakak-beradik yang saya temui di TPA, bentuk konflik yang sering mereka tunjukkan adalah perkelahian dan penyerangan psikologis. Ibu ngaji pun menyatakan bahwa kedua kakak-beradik tersebut sering berkelahi hingga sang kakak berujung mengamuk dan meninggalkan tempat ngaji. Setelah memukul sang adik pun, tidak tampak perasaan bersalah pada raut wajah sang kakak. Tidak jarang juga sang kakak melakukan konfrontasi secara verbal kepada sang adik seperti "dia mah bukan adik saya teh. Saya ga sudi punya adik kaya dia", "dia anak haram", dan lainnya.

Mengapa Anak-anak Berkelahi?

Perkelahian antar anak-anak dapat terjadi karena adanya kecemburuan salah satu pihak saat pihak lain mendapatkan perhatian lebih dari orangtua mereka (Andriyani & Darmawan, 2018). Jika ibu lebih suka mengasuh adik, sang kakak mungkin mengalami kecemburuan dan memicu rasa permusuhan antar saudara semakin dalam (Qian et al., 2020). Faktor lainnya yang menyebabkan perkelahian antar saudara adalah kurangnya pengawasan orangtua, kurangnya penanaman nilai kepada anak, dan membiarkan sang kakak bertanggungjawab atas sang adik (Relva et al., 2013).

Penyebab lain dari perkelahian anak-anak adalah adanya perbedaan temperamen antar saudara kandung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin temperamen antar saudara berbeda, semakin banyak konflik di antara mereka. Jika sang kakak memiliki temperamen yang tinggi, meskipun tingkat konflik di antara saudara kandung rendah, mereka akan sulit mengembangkan kehangatan antar saudara (Qian et al., 2020).

Dampak Perkelahian Anak Terhadap Perkembangan Psikologis

Seringkali konflik dan perilaku agresi antar saudara kandung dianggap remeh dan diabaikan karena dianggap sebagai pertengkaran yang wajar dan tidak berbahaya (Tucker & Finkelhor, 2017). Namun, apabila konflik ini terjadi secara berkepanjangan dapat memicu munculnya dampak negatif lainnya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa konflik saudara kandung di masa kanak-kanak dapat memprediksi gejala depresi, kecemasan, dan kenakalan seseorang dua tahun kemudian (Pike & Oliver, 2017). Anak-anak yang tumbuh dengan konflik saudara kandung dapat mengalami perasaan putus asa dan merasa bersalah karena berkelahi. Selain itu, anak juga merasa takut bahwa konflik tersebut tidak akan pernah berakhir. Perasaan ini dapat memperkuat munculnya gejala depresi dari waktu ke waktu (Buist et al., 2013). Konflik antar saudara kandung juga dapat meningkatkan kecemasan dan menurunkan harga diri sehingga cenderung membuat anak kesulitan dalam menyesuaikan diri (Lindell et al., 2013). Konflik yang berkepanjangan juga dapat menyebabkan anak mengalami gangguan makan, masalah dengan obat-obatan dan alkohol, melakukan tindakan agresif di sekolah, dan masalah perilaku lainnya (Relva et al., 2013).

Kesimpulan

Setelah mengobrol bersama guru TPA, saya mendapatkan informasi bahwa kedua kakak beradik tersebut berasal dari keluarga yang kurang harmonis, di mana orangtua mereka telah bercerai dan sang ibu meninggalkan ketiga anaknya. Setelah itu, kedua kakak beradik tersebut pun tinggal bersama nenek mereka. Selain itu, sang kakak pun pernah mencoba "nge-lem" hingga membuat beberapa fungsi motorik dan kognitifnya tampak terganggu. Oleh karena itu, saya berasumsi bahwa perkelahian antar kakak beradik tersebut dapat terjadi karena kurangnya pengawasan dari orangtua. Ibu ngaji di TPA tersebut menyatakan bahwa sang adik merasa senang saat kelompok saya datang karena ia bisa memperoleh perhatian yang kurang ia dapatkan dari keluarganya. Dampak psikologis perkelahian yang tampak terlihat pada sang adik adalah ia terlihat merasa takut dan tidak aman saat berdekatan dengan kakaknya. Selain itu, ketika sang adik coba untuk mendekati sang kakak, sang kakak terlihat menolak kehadiran sang adik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun