Malam itu di suatu TPA (Tempat Pengajian Anak),
Terdapat dua kakak beradik yang menarik perhatian saya. Mereka terlihat tidak dekat satu sama lain, meskipun sang adik berusaha mendekati kakaknya. Tak terhitung beberapa kali sang kakak mengucapkan kalimat-kalimat yang menolak eksistensi sang adik. Bahkan hingga memanggilnya anak haram. Puncak kemarahan sang kakak terlihat ketika ia tidak segan-segan memukul kepala sang adik hingga membuatnya menangis dan terluka.
Setelah memukul pun sang kakak tidak menunjukkan raut wajah penyesalan atau rasa bersalah. Saat saya menanyakan mengapa ia tidak kasihan dengan sang adik, kakak mengatakan bahwa dia tidak merasa bersalah dan hal tersebut merupakan hal yang wajar. Hal tersebut membuat saya keheranan karena kejadian di atas tidak dipicu oleh kejadian tertentu.
Oleh karena itu, saya tertarik untuk membahas pertengkaran anak-anak dari perspektif psikologis. Selain berasal dari referensi jurnal, saya juga mendapatkan informasi lebih lanjut terkait hubungan kakak beradik dari beberapa teman dan ibu guru ngaji.
Apa Itu Perkelahian Anak-anak (Sibling Conflict)?
Bagi kebanyakan orang, hubungan saudara kandung atau sibling relationship merupakan hubungan jangka panjang yang mereka miliki, dimulai dengan saat mereka lahir hingga berakhir saat salah satu dari mereka meninggal dunia. Saudara kandung menghabiskan lebih banyak waktu bersama daripada dengan orangtua mereka sehingga memainkan peran yang krusial dalam perkembangan masing-masing individu (Qian et al., 2020).
Hubungan saudara kandung terbagi menjadi dua jenis, yaitu hubungan hangat dan konflik antar saudara. Hubungan yang hangat menggambarkan aspek-aspek hubungan positif seperti keintiman, kasih sayang, dukungan, persahabatan, dan kedekatan. Sedangkan konflik saudara kandung terdiri dari aspek negatif seperti berdebat, bertengkar berkelahi, agresi, permusuhan, dan sebagainya (Buist et al., 2013). Ketika anak-anak memiliki hubungan saudara yang hangat, mereka akan cenderung lebih baik dalam menggunakan strategi pemecahan masalah yang konstruktif untuk menyelesaikan konflik antar saudara daripada anak-anak yang sering berkelahi (Recchia & Howe, 2009).
Konflik merupakan ciri umum yang sering terjadi dalam hubungan saudara kandung. Namun jika konflik ini terjadi secara berkepanjangan dapat menyebabkan anak mengalami ketidakmampuan dalam menyesuaikan diri dan masalah dalam fungsi sosial (Lindell et al., 2013). Konflik saudara kandung sering terjadi pada masa anak-anak awal dan menengah. Konflik ini seringkali tidak terselesaikan dengan baik. Ketika konflik berakhir dengan sang adik yang pasrah dan menyerah, sang kakak biasanya akan muncul sebagai pemenang. Hal ini menyebabkan sang kakak menikmati dominasi dan kekuatannya pada sang adik (Recchia & Howe, 2009).
Konflik saudara kandung terdiri lima jenis, yaitu saling menolak untuk membantu dan bekerja sama satu sama lain, menolak untuk berbagi satu sama lain, menyerang secara agresif, kecenderungan menceritakan kesalahan lain ke orangtua, dan kecenderungan merusak milik orang lain (Pinastikasari, 2022). Selain itu, jenis konflik lainnya dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu konflik secara fisik dan psikologis. Contoh konflik secara fisik adalah memukul, menggigit, menampar, mendorong, mencubit, dan agresi fisik lainnya. Sedangkan bentuk konflik secara psikologis adalah perilaku non-fisik yang dilakukan dengan tujuan untuk menyakiti seseorang secara psikologis atau emosional seperti menggoda secara berlebihan, memanggilnya dengan nama hewan, dan konfrontasi verbal (Relva et al., 2013).
Pada kasus salah satu kakak-beradik yang saya temui di TPA, bentuk konflik yang sering mereka tunjukkan adalah perkelahian dan penyerangan psikologis. Ibu ngaji pun menyatakan bahwa kedua kakak-beradik tersebut sering berkelahi hingga sang kakak berujung mengamuk dan meninggalkan tempat ngaji. Setelah memukul sang adik pun, tidak tampak perasaan bersalah pada raut wajah sang kakak. Tidak jarang juga sang kakak melakukan konfrontasi secara verbal kepada sang adik seperti "dia mah bukan adik saya teh. Saya ga sudi punya adik kaya dia", "dia anak haram", dan lainnya.
Mengapa Anak-anak Berkelahi?