Pembengkakan anggaran pada proyek Kereta Cepat Jakarta -- Bandung akhir -- akhir ini sedang menjadi sorotan publik. Proyek ini pada awalnya akan dibiayai secara mandiri oleh konsorsium BUMN Indonesia dan konsorsium Railways dengan skema B2B (business to business) kini mengalami pembengkakan anggaran atau cost overrun (kelebihan biaya).
Cost overrun biasa terjadi pada proyek kereta cepat karena sifatnya yang kompleks, penganggaran awal yang optimis, adanya kegagalan pada tata kelola manajemen proyek serta mengalami penundaan pada pembebasan lahan yang akan digunakan. Di Indonesia sendiri cost overrun pada proyek Kereta Cepat Jakarta -- Bandung ini terjadi akibat adanya kenaikan biaya kontruksi, biaya head office, pembebasan lahan, biaya operasi serta biaya lainnya.
Proyek Kereta Cepat Jakarta -- Bandung telah tiga kali mengalami cost overrun. Dari anggaran semula 5,9 milliyar USD menjadi 6,07 milliyar USD dan berpotensi menjadi 7,67 milliyar USD. Sehingga pemerintah akhirnya akan turun tangan untuk mengatasi masalah ini dengan mengijinkan digunakannya Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) agar proyek Kereta Cepat Jakarta -- Bandung dapat selesai dengan tepat waktu.
Dengan digunakannya dana APBN ini maka timbul pro dan kontra pada kalangan masyarakat, oleh karena itu agar pendanaan yang diperoleh dari APBN dapat digunakan secara maksimal pada kelanjutan proyek Kereta Cepat Jakarta -- Bandung ini maka sebaiknya perlu diperhatikan aspek -- aspek penting yang mendukung prosesnya sebagai bentuk tanggung jawab sosial.
Tanggung jawab sosial pada dasarnya adalah tentang bagaimana bisnis memperhitungkan dampak ekonomi, sosial dan lingkungan dalam cara operasinya -- memaksimalkan manfaat dan meminimalkan kerugian. Secara khusus, tanggung jawab sosial merupakan tindakan sukarela yang dapat digunakan untuk menangani kepentingan kompetitif dan kepentingan masyarakat luas. Tanggung jawab sosial ini dapat dilakukan dengan melakukan pendekatan triple bottom line agar dapat terus berkelanjutan.
Agar program Kereta Cepat Jakarta -- Bandung dapat berlanjut maka harus dapat menciptakan keuntungan dan juga meminimalkan kerusakan lingkungan dan meningkatkan keterlibatan orang-orang yang memiliki kontak baik dalam proyek maupun pada hasilnya di masa depan. Dengan kata lain, mampu menyeimbangkan kepentingan ekonomi, lingkungan, dan sosial. Asumsi yang mendasari triple bottom line yaitu bahwa bisnis yang memiliki keberkelanjutan lebih mungkin untuk tetap berhasil dalam jangka panjang daripada bisnis yang berfokus pada tujuan ekonomi saja. Hanya perusahaan yang menghasilkan triple bottom line seimbang yang benar-benar memperhitungkan total biaya menjalankan operasinya.
People -- pada garis atas yaitu garis sosial, yang diukur dengan dampak operasi pada kualitas hidup masyarakat.
Gagasan ini tidak hanya membahas adanya hubungan antara bisnis dan masyarakat di mana mereka beroperasi, melainkan bahwa bisnis harus menerima bahwa mereka memikul tanggung jawab atas dampak yang mereka miliki terhadap masyarakat dan menyeimbangkan konsekuensi 'sosial' eksternal dari tindakan mereka dengan konsekuensi internal yang lebih langsung, seperti keuntungan yang akan diperoleh.
Planet -- pada garis tengah yaitu lingkungan, diukur dengan dampak lingkungan dari adanya operasi.
Sebuah kegiatan usaha secara tidak langsung akan berdampak negatif terhadap lingkungan alam. Ini jelas merupakan masalah penting, bukan hanya karena dampak nyata limbah berbahaya, polusi udara dan bahkan polusi suara terhadap lingkungan langsung, tetapi juga karena masalah yang kurang jelas, tetapi berpotensi jauh lebih merusak seputar pemanasan global. Seringkali kegagalan operasional yang menjadi akar dari bencana polusi dan keputusan operasi.
Profit -- pada garis bawah yaitu ekonomi, diukur dengan profitabilitas, pengembalian aset, dan lainya dari operasi.
Secara luas ini berarti bahwa manajer operasi harus menggunakan sumber daya operasi secara efektif, dan ada banyak cara untuk mengukur 'profit' ini. Spesialis keuangan telah merancang berbagai tindakan (seperti pengembalian aset, dll.)
Strategi operasi yang dirancang dan dijalankan dengan baik seharusnya lebih kecil kemungkinannya untuk gagal. Maka lebih cenderung beroperasi pada tingkat yang dapat diprediksi dan dapat diterima tanpa mengecewakan lingkungan yang terlibat atau menimbulkan biaya berlebih. Dan jika mengalami kegagalan, operasi yang dijalankan dengan baik harus dapat pulih lebih cepat dan dengan gangguan yang lebih sedikit.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H