Alangkah payah pengembara itu, hanya bermodalkan dengan modal enam syarat ia nekat untuk menelusuri tiap-tiap ilmu yang dilihatnya disetiap kali dia berjalan. Rupanya gagah berani membuat batinya kehausan akan sesuatu yang menyerupai air.
Nasi yang digenggamnya terasa kurang untuk mencukupi perjuangan bertahun-tahun. Keluhan dan keluhan juga rintihan, membuat dada penuh asap liar.
Amat kasihan ia hampir menangis setiap kali harus menghadapi masalah yang terus menimpanya. Hanya sabar dan syukur yang selalu meliputinya. Ia terhibur dengan apa yang ada meski pahit awal harus dicicipi sebagai bumbu kebahagiaan.
Hasil yang ia peroleh, tak lebih hanya untuk diamalkan dan sebagai bekal masa depanya. Manis yang terasa pastinya ada di hari depan berkat kegiatan yang ia lakukanhari ini dan hari selanjutnya yang tak pernah ada kata putus asa.
Isak tangis tak dapat dibendung ketika tali sandal jepitnya putus seketika, tak ada harapan lagi kecuali sabar menahan kasarnya kerikil jalan dan panasnya aspal yang bersekutu dengan matahari.
Lari dari kenyataan, pikiran itu selalu menjemputnya dan membuat pikiranya bimbang dan kacau. Namun ia ingat ucapan gurunya “orang yang sukses adalah orang yang dahulunya banyak menelan kepahitan” seketika ia terbangun dan mengambil ranselnya yang jatuh ke tanah.
Obyek yang memanggilnya dari sisi kanan adalah wanita dan sisi kirinya adalah harta, teapi ia terus melihat ke depan. Ia melihat cahaya yang terang, menerangi apa saja yang ada di sekelilingnya. Akan tetapi kedua obyek ini selalu mengikutinya sampai ia penerangan dari cahaya tersebut.
Variasi-variasi ilmu yang diajarkan gurunya sungguh amat bermanfaat. Setelah pandai dalam berbagai variasi disiplin ilmu, kemudian ia ingat kembali ucapan gurunya “sebaik-baik kamu adalah yang mempelajari Al-Qur’an dan mau mengajarkanya” kemudian ia terlelap dalam tidurnya di atas tikar kasar.
Esok harinya ia bertekad pulang ke rumah untuk menjadi penerang masyarakat dengan ilmu yang sudah didapatkan dan diamalkanya. Tak segan-segan ia menyebarluaskan ilmu tersebut kepada masyarakat umum.
Yayasan pemuda berilmu, kini berada di genggam tanganya, seorang buah hati berada di sampingnya. Ternyata ia telah menikah dengan seorang wanita yang dahulunya adalah teman dekat seperjuangan pada waktu menuntut ilmu.
Ombak berdebur, bergemuruh di sore hari yang cerah mengiringi waktu senja. Angin pun rebut mengelilinginya. Batu kecil diambilnya sambil mengamatinya dengan seksama. Bisik hatinya terucap “Apakah batu yang tak berguna ini dapat menjadi batu yang termahal” pikirnya. Ia diam sejenak lamanya.