Mohon tunggu...
Naviis Alvin
Naviis Alvin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Politeknik STIA LAN Jakarta

Saya adalah seorang mahasiswa semester 3 di Politeknik STIA LAN Jakarta program studi Administrasi Pembangunan Negara

Selanjutnya

Tutup

Financial

Jumlah Masyarakat Kelas Menengah Turun, Efek Pemerintah Pentingkan Investor Asing?

9 Oktober 2024   20:37 Diperbarui: 9 Oktober 2024   21:34 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Belakangan ini persoalan mengenai menurunnya masyarakat kelas menengah tengah menjadi perbincangan hangat. Bagaimana tidak, dalam lima tahun terakhir jumlah masyarakat kelas menengah mengalami penurunan yang signifikan.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2019 masyarakat kelas menengah berjumlah 57,33 juta orang. Sementara itu pada tahun 2021 berjumlah 53,83 juta orang, pada tahun 2022 berjumlah 49,51 juta orang, pada tahun 2023 berjumlah 49,27 juta orang, dan pada tahun 2024 berjumlah 47,85 juta orang. Untuk data pada tahun 2020 tidak tersedia. Berdasarkan data tersebut dalam lima tahun terakhir jumlah masyarakat kelas menengah menunjukkan adanya tren penurunan.

Berdasarkan persentase pada tahun 2019 jumlah masyarakat kelas menengah ada di angka 21,45% dari total penduduk. Sementara itu, pada tahun 2024 jumlah masyarakat kelas menengah ada di angka 17,13% dari total penduduk.

BPS dalam menilai standar kelas mengacu pada Bank Dunia berdasarkan pengeluaran per kapita per bulan. Kelas menengah didefinisikan sebagai mereka dengan pengeluaran antara Rp2.040.262 hingga Rp9.909.844 per kapita per bulan. Pada tahun 2024, modus pengeluaran kelas menengah tercatat sekitar Rp2.056.494, mendekati batas bawah kategori kelas menengah

Menurunnya jumlah kelas menengah dapat mengganggu pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sektor konsumsi menyumbang sekitar 60% dari Produk Domestik Bruto (PDB), sehingga melemahnya daya beli kelas menengah dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.

Lalu, apakah penurunan jumlah masyarakat kelas menengah saat ini berkaitan dengan kebijakan ekonomi pemerintah yang dianggap mengutamakan investor asing?

Secara umum penyebab utama penurunan masyarakat kelas menengah dalam lima tahun terakhir disebabkan oleh Pandemi COVID-19. Pandemi telah melumpuhkan sejumlah sektor, terutama sektor perdagangan internasional. Akibatnya permintaan global menurun yang memaksa perusahaan mengurangi jumlah pekerja atau memotong jam kerja yang berdampak langsung pada pendapatan karyawan.

Dengan begitu, banyak masyarakat yang mengalami krisis ekonomi yang berujung pada meningkatnya pinjaman online, judi online, dan menurunnya daya beli. Efek jangka panjang dari pandemi, yang disebut sebagai scarring effect, masih dirasakan dalam perekonomian, yang membuat kelas menengah terpaksa turun ke kelompok rentan miskin

Selain Pandemi Covid-19, kebijakan ekonomi pemerintah juga bisa menjadi salah satu faktor turunnya jumlah masyarakat kelas menengah. Kebijakan ekonomi yang lebih fokus pada investasi sektor padat modal dan sumber daya alam tanpa menciptakan lapangan kerja yang cukup untuk kelas menengah juga menjadi penyebab penurunan ini. Hal ini mengakibatkan banyak masyarakat terpaksa bekerja di sektor informal dengan pendapatan yang kurang memadai.

Dalam perspektif Ilmu Ekonomi-Politik, meningkat atau menurunnya ekonomi sebuah negara dapat dipahami sebagai hasil dari kebijakan ekonomi yang kurang tepat. Relasi kuasa antara politik dan ekonomi menentukan arah kebijkaan ekonomi sebuah negara. Ekonomi dapat mempengaruhi kebijakan politik, begitu pula sebaliknya, kebijakan politik dapat mempengaruhi ekonomi. Sehingga, apabila suatu pihak memiliki sumberdaya yang memadai, pihak tersebut dapat mempengaruhi ekonomi atau kebijakan politik untuk meningkatkan sumberdayanya.

Pengaruh tersebut dapat tertuang kedalam berbagai paham antara lain liberalisme, kapitalisme, sosialisme dan sebagainya. Mengesampingkan Pandemi Covid-19, dari perspektif Ilmu Ekonomi-Politik, penurunan ekonomi kelas menengah di Indonesia dapat dipengaruhi dari kebijakan ekonomi yang mengandung berbagai pengaruh paham, diantaranya neoliberalisme dan kapitalisme.

Neoliberalisme dan kapitalisme menekankan pada pasar bebas dengan dihapuskannya intervensi pemerintah di dalam pasar domestik, dan dikuranginya kontrol dan pengetatan perdagangan internasional melalui deregulasi.

Salah satu contoh kebijakan pemerintah yang banyak dikritik karena dianggap menekankan nilai-nilai neoliberalisme dan kapitalisme adalah kebijakan Omnibus Law Cipta Kerja. Pada Pasal 88C UU Cipta Kerja memungkinkan gubernur untuk menetapkan UMK, tetapi dengan kata "dapat" yang membuat penetapan UMK menjadi bukan kewajiban.

Hal ini dianggap merugikan buruh karena tidak memberikan kepastian upah minimum yang jelas. Pasal-pasal dalam UU Cipta Kerja yang terkait dengan karyawan kontrak dan outsourcing dianggap merugikan karena memungkinkan karyawan kontrak diberlakukan seumur hidup tanpa pernah diangkat menjadi karyawan tetap. Hal ini berarti tidak ada kepastian bekerja.

UU Cipta Kerja, yang disahkan pada tahun 2020, bertujuan untuk menarik investasi asing dengan mengurangi regulasi yang dianggap menghambat (deregulasi). Kebijakan ini dilihat sebagai langkah untuk meningkatkan liberalisasi ekonomi dan memperkuat posisi korporasi besar, sering kali mengorbankan perlindungan bagi pekerja dan masyarakat lokal

Omnibus Law memberikan kemudahan bagi perusahaan dalam hal pengaturan tenaga kerja, termasuk upah dan pemutusan hubungan kerja (PHK). Hal ini berpotensi meningkatkan PHK, yang dapat meningkatkan tingkat pengangguran dan kesulitan mencari pekerjaan bagi masyarakat

Batas usia kerja yang rendah untuk beberapa pekerjaan membuat karyawan usia ‘tanggung’ yang baru saja terkena PHK menjadi kesulitan dalam melamar pekerjaan akibat dijegal syarat batas usia maksimal

Kebijakan neoliberal oleh Omnibus Law sering kali meningkatkan kesenjangan sosial. Dengan fokus pada menarik investasi asing, keuntungan dari investasi tersebut tidak selalu kembali kepada rakyat Indonesia, melainkan mengalir ke luar negeri. Hal ini membuat kekayaan nasional lebih banyak mengalir ke luar negeri daripada tinggal di dalam negeri untuk kesejahteraan rakyat.

Secara keseluruhan, Omnibus Law dapat merugikan ekonomi masyarakat karena dapat mengurangi perlindungan bagi kelompok rentan, meningkatkan PHK, meningkatkan kesenjangan sosial, dan memfasilitasi kelas kapitalis yang berkuasa. 

Dengan begitu, kebijakan Omnibus Law yang dipahami dalam perspeltif Ilmu Ekonomi-Politik dengan mengacu pada paham neoliberalisme dan kapitalisme sebagai tolak ukur membuat kebijakan Omnibus Law berpotensi menjadi salah satu faktor menurunnya masyarakat ekonomi kelas menengah di indonesia saat ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun