Mohon tunggu...
Navi akhmad
Navi akhmad Mohon Tunggu... Lainnya - UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA

Mahasiswa Universitas Negeri Surabaya

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Krisis Kepercayaan, Membangun Kembali Hubungan

21 Oktober 2024   01:35 Diperbarui: 21 Oktober 2024   01:35 9
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Krisis kepercayaan antara rakyat dan politisi di Indonesia semakin memprihatinkan dan menjadi tantangan serius bagi demokrasi di negara ini. Survei yang dilakukan oleh Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada November 2021 menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan publik terhadap partai politik hanya sekitar 28,3%. 

Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan institusi lain seperti Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang mencapai 76,2% dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mencapai 55,1%. Fenomena ini mencerminkan ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja politisi dan partai politik yang seharusnya menjadi wakil aspirasi rakyat.

Salah satu penyebab utama dari krisis kepercayaan ini adalah kinerja buruk partai politik. Banyak politisi yang lebih mementingkan kepentingan pribadi dan golongannya daripada memperjuangkan aspirasi rakyat. 

Kasus korupsi yang melibatkan kader partai, seperti yang terjadi pada beberapa anggota DPR dan kepala daerah, semakin memperburuk citra partai politik di mata masyarakat. 

Masyarakat merasa dikhianati ketika janji-janji kampanye yang diucapkan selama pemilihan umum tidak ditepati setelah mereka terpilih. Hal ini menciptakan kesan bahwa politisi hanya mengejar kekuasaan dan keuntungan pribadi, bukan untuk melayani rakyat. Selain itu, permasalahan internal dalam partai politik juga menjadi faktor utama dalam krisis kepercayaan. 

Kinerja para elite politik yang lemah moral dan etika, serta keterlibatan beberapa kader partai dalam kasus korupsi, telah menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat. Masyarakat tidak percaya bahwa partai politik dapat menjaga nilai-nilai demokrasi dan berpihak kepada rakyat.

Dominasi politik uang merupakan penyakit kronis yang menggerogoti demokrasi di Indonesia. Suara rakyat sering kali dibeli, dan proses pemilihan umum dipenuhi dengan praktik-praktik korup yang merusak integritas demokrasi. Kurangnya komunikasi dan edukasi politik juga memperparah keadaan. 

Partai politik gagal membangun hubungan yang harmonis dengan rakyat. Program dan visi misi mereka pun tak tersampaikan dengan baik, sehingga menimbulkan kebingungan dan apatisme di kalangan masyarakat. 

Banyak orang merasa bahwa suara mereka tidak didengar, sehingga mereka memilih untuk tidak berpartisipasi dalam proses politik. Akibatnya, tingkat partisipasi pemilih dalam pemilu semakin menurun, menciptakan siklus ketidakpercayaan yang sulit untuk diputus. 

Implikasi dari krisis kepercayaan ini sangat luas Salah satu dampaknya adalah apatisme politik, di mana masyarakat menjadi enggan untuk berpartisipasi dalam proses demokrasi karena merasa tidak ada perubahan yang signifikan. Hal ini sangat berbahaya bagi masa depan demokrasi di Indonesia karena tanpa partisipasi aktif dari masyarakat, suara-suara penting akan hilang dari arena politik.

Fenomena politik identitas pun mulai berkembang sebagai alternatif bagi masyarakat yang merasa tidak puas dengan partai mainstream. Namun, hal ini juga dapat memperlemahkan demokrasi jika tidak didasarkan pada prinsip-prinsip demokratis. Oligarki semakin menguat ketika masyarakat kehilangan keyakinan terhadap institusi demokratis. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun