Didalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari biasanya terdapat pemimpin yang diakui dan diterima dalam hal keagamaan yang berkaitan dengan Hablum Minallah(Hubungan dengan Tuhan) dan Hablum Minannas(Hubungan sesama Manusia). Pemimpin mempunyai kelebihan dalam pengetahuan intelektualnya dan kemampuan lahiriah dan bathiniah untuk menggerakkan anggotanya untuk bertindak dan menjelaskan kebenaran amalan keagamaan. Menurut Turner, suatu kelompok masyarakat atau anggota suatu komunitas mempunyai simbol dominan yang secara efektif berfungsi sebagai kesatuan kelompok dan menjadi pendorong tindakan para anggotanya(Turner dan Maryanski, 2010).
Bagi masyarakat Islam tradisional di pedesaan, Kyai merupakan sosok pemimpin kharismatik yang dianggap sebagai teladan dan memiliki ilmu agama Islam serta kelebihan lain seperti kekuatan batin yang tidak dimiliki oleh masyarakat awam. Dia fasih dan memiliki mata yang tajam untuk membaca pikiran para pengikutnya. Kiai bercirikan berpikiran terbuka, berani, dan ikhlas, bahkan sebagai seorang ahli, ia jauh lebih baik dibandingkan pemimpin agama formal dalam menerapkan prinsip ijtihad, atau penerimaan logis terhadap ajaran Islam(Rudjansyah, 1997).
Di Jawa, khususnya di Kaliwungu, perilaku Islam yang benar diungkapkan melalui contoh seperti kyai (lembaga pendidikan seperti pesantren, madrasah dan praktik keagamaan lainnya seperti manaqiban, pengajian, istighotsah) yang diajarkan kepada anggotanya. perilaku ideal masyarakat, pola pikir dan perasaan ideal, simbol-simbol dan praktik keislaman. Khususnya di Kaliwungu, ketaatan terhadap norma perilaku Islam mencerminkan kecenderungan mereka mengikuti tradisi budaya Kyai Islam.
Menurut Sartono Kartodirdjo, kedudukan pemimpin struktur sosial masyarakat mempunyai tugas atau peranan mengarahkan, mengatur dan mengendalikan, agar tercapai tujuan bersama dan terpeliharanya nilai-nilai sosial budaya masyarakat. Terdapat interaksi dan komunikasi dua arah antara pemimpin dan pengikut. Hal ini membutuhkan penerimaan, dukungan, dan kepercayaan pengikut terhadap pemimpin mereka. Dalam masyarakat tradisional, kekuasaan dan pengaruh muncul dari prinsip sakral kekuasaan, karisma. Kekuasaan tradisional juga diterima secara umum oleh masyarakat tanpa mempertanyakan legitimasinya.
Pada masyarakat pra-industri, struktur kekuasaan sangat erat kaitannya dengan sistem kepercayaan karena nilai-nilai yang menopang masyarakat berasal dari sistem tersebut. Tatanan sosial sebagai sub-ordinasi tatanan kosmis-magis yang dilandasi prinsip agama, kekuasaannya berasal dari kekuatan supranatural. Itu sebabnya banyak pemimpin masyarakat(kyai) yang mempunyai kekuasaan ganda, yaitu kekuasaan duniawi dan rohaniyah.
Secara umum, karena sebagian besar masyarakat kaliwungu masih bergantung pada sektor pertanian yang sebagian besar bersifat tradisional, kepemimpinan karismatik dan tradisional masih mempunyai pengaruh yang sangat besar. Mobilisasi rakyat oleh pemimpin hanya mungkin terjadi bila komunikasi antara kedua pihak berlangsung dalam kerangka tradisional dengan menggunakan ideologi atau kepercayaan tradisional.
Dengan ilmu keislaman yang unggul, para kyai seringkali dipandang sebagai orang yang selalu mampu memahami keagungan Tuhan dan misteri alam, sehingga mereka mempunyai status yang tidak mungkin tercapai, terutama di kalangan dominan masyarakat. Dalam beberapa hal, mereka menunjukkan keunikannya dalam bentuk pakaian yang menjadi simbol kearifan, yaitu "kopiah" dan "sorban".
Peran penting Kyai terletak pada posisinya sebagai pemuka agama dan guru. Kyai adalah anggota elite atau dalam struktur sosial bisa disebut "Kelas Atas" yang berusaha membawa masyarakat ke dalam tatanan Islam yang diidealkan secara konseptual. Masing-masing Kyai juga berusaha memaknai perkembangan dan perubahan bidang sosial budaya dan politik yang dipahami masyarakat kaliwungu.
Islam tradisional sangat erat kaitannya dengan tradisi-tradisi yang berkembang di dalamnya di bawah pengaruh budaya Hindu dan Budha. Dalam masyarakat Islam tradisional (NU), budaya seperti manaqiban, tahlilan, selamatan dan ziarah kubur sangat erat hubungannya dengan kehidupan masyarakat. \
Berdasarkan sejarah penyebaran Islam di Indonesia, wujud kebudayaan Islam merupakan gabungan antara ajaran Islam formal dan pemujaan terhadap para wali (yang berpuncak pada pemujaan Wali Songo) sebagai dampak sisa dari pemujaan terhadap orang-orang suci (hermits.) dalam agama Hindu.
Komunitas Muslim tradisional di kaliwugu khususnya dengan adanya pesantren, kyai dan santri pesantren membentuk budaya tersendiri, yang menurut Abdurrahman Wahid disebut sub-kultur pesantren.
Sistem nilai yang berkembang di lingkungan pesantren mempunyai ciri dan ciri tersendiri, yang seringkali memberikan karakter sub-kultural pada kehidupan itu sendiri.
Nilai-nilai terpenting yang berkembang di lingkungan pesantren terutama adalah pandangan hidup secara keseluruhan sebagai ibadah. Kedua, kecintaan yang kuat terhadap kajian agama dan ketiga, kerja ikhlas atau ikhlas untuk tujuan bersama.
Masyarakat terus mengalami perubahan dan prosesnya dapat terjadi dengan kecepatan yang berbeda-beda; lambat, sedang, cepat atau evolusi dan revolusi.
Perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan yang semakin meng-global merupakan hal yang wajar dan dapat disebabkan oleh perkembangan teknologi, transportasi dan komunikasi.
Menurut Moore, perubahan yang cepat atau permanen terjadi di setiap masyarakat atau budaya. Perubahan yang normal mempunyai konsekuensi terhadap pengalaman individu dan sosial yang lebih luas serta aspek fungsional masyarakat di dunia modern.
Selain itu, mereka meyakini tradisi masyarakat seperti Manaqiban, Selamatan, Tahlilan, Istighosah dan Wiridan mempunyai banyak manfaat, seperti menciptakan rasa persaudaraan antar umat Islam (ukhuwah Islamiyah), wadah silaturahmi dan kesempatan bagi mereka untuk berdoa.
Tradisi-tradisi ini memperkuat rasa kebersamaan dan rasa memiliki umat Islam serta mengalami perubahan baik teknis maupun perubahan intensitas kegiatan.
Padahal, menurut mereka, tradisi-tradisi tersebut hanya sebagai sarana untuk melaksanakan ajaran agama dan tidak bertentangan dengan ajaran agama yang dianutnya. Namun, baik secara langsung maupun tidak langsung, tradisi-tradisi tersebut semakin banyak mengalami perubahan baik dari segi waktu, tenaga, makna, maupun seiring dengan perkembangan dan industrialisasi serta munculnya sikap rasional dalam masyarakat.
Tradisi-tradisi ini diubah dengan cara yang berbeda dengan keadaan sebelumnya.
Hampir tidak ada masyarakat yang statis, perubahan sosial budaya merupakan suatu proses kehidupan itu sendiri, yang dapat diwujudkan dalam keinginan untuk memulai perjalanan hidup.
Naik turunnya sistem sosial budaya suatu masyarakat disebabkan oleh adanya perubahan fungsi berbagai sistem sosial atau unsur budaya, yang memberikan peluang bagi sistem atau unsur lain untuk dipandang penting dan baru dalam menyikapi proses kehidupan yang baru(Soekanto, 1993).
Menurut Lauer, perubahan sosial merupakan suatu konsep luas yang mengacu pada perubahan fenomena sosial pada berbagai tingkat kehidupan manusia, dari individu hingga global. Lauer menjelaskan bahwa perubahan di semua tingkat kehidupan sosial bisa lebih tepat dipandang sebagai perubahan sosiokultural. Artinya perubahan kecil atau perubahan pada beberapa unsur sosial budaya dapat disebut perubahan sosial budaya(Leuer, 1989) .
Wilbert Moore mendefinisikan perubahan sosial sebagai "perubahan besar dalam struktur sosial", dan yang dimaksud dengan struktur sosial adalah "pola perilaku dan interaksi sosial". Moore memasukkan berbagai konstruksi dalam definisinya tentang perubahan sosial, seperti norma, nilai, dan fenomena budaya.
Perubahan sosial budaya Indonesia tidak lepas dari perkembangan masyarakat Indonesia itu sendiri. Pengaruh luar belum menyebabkan perubahan sosial struktural yang dapat mengubah suatu masyarakat dari status tradisional menjadi keadaan lain yang mandiri atau berubah. Pengaruh luar tersebut selanjutnya dapat menyaring norma dan tatanan masyarakat atau melengkapi bahkan memperkaya khazanah sosial budaya masyarakat.
Demikian pula halnya dengan agama: ciri-ciri dan tradisi kelompok masyarakat yang menyebarkan agama telah memberi warna dalam kehidupan beragama dan tidak selalu sesuai dengan sumber aslinya. Dalam konteks ini, dapat dicatat bahwa tatanan sosial yang merupakan unsur penting tradisi dan pedoman hidup, dari waktu ke waktu tampak bersifat berkesinambungan dari masa ke masa.
Transformasi budaya dan struktur sosial adalah proses yang kompleks dan sering kali melibatkan perubahan dalam nilai-nilai, norma-norma, perilaku, dan struktur sosial dalam masyarakat. Transformasi ini dapat terjadi secara alami atau dipicu oleh berbagai faktor eksternal atau internal.
Adapun beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam upaya untuk melakukan transformasi budaya dan struktur sosial, tetapi dapat menjadi langkah yang penting menuju masyarakat yang lebih inklusif, adil, dan berkelanjutan. Hal ini memerlukan kolaborasi yang kuat antara individu, kelompok, pemerintah, dan institusi sosial untuk mencapai tujuan transformasi yang diinginkan.
Referensi
Leuer, Robert H. 1989. Perspektif tentang Perubahan Sosial. terj. Alimandan. Jakarta: Bina Aksara.
Rudjansyah, Tony. 1997. “Kaomu, Papara dan Walaka: Satu Kajian Mengenai Struktur Sosial dan Ideologi Kekuasaan di Kesultanan Wolio.” Jurnal Antropologi Indonesia 51
Soekanto, Soerjono. 1993. Beberapa Teori Sosiologi tentang Struktur Masyarakat. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Turner, Jonathan H. dan Alexandra Maryanski. 2010. Fungsionalisme. ed. Anwar Effendi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H