Mohon tunggu...
Nauroh Asyifa
Nauroh Asyifa Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Nauroh Asyifa adalah nama penaku kelahiran Brebes, Jawa Tengah. Penulis menyelesaikan S1 Teknologi Hasil Perairan Ipb, Bogor, saat ini beraktifitas sebagai pengajar Matematika di SMA Daarul Quran, Cikarang, Bekasi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

" Diamku Seribu Bahasa Cinta"

20 September 2012   14:57 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:09 1882
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku mencoba mendatangi Ririn di kediamannya, jika memang Ririn masih sangat berharap dengan Aqil, maka aku akan mengalah dan biarlah niat Aqil untuk menyuntingku dibatalkan. Ternyata Ririn berubah fikiran, ia tidak jadi meminta pertolonganku untuk dihubungkan dengan Aqil, ia merasa ada hal prinsip yang membuat ia berbeda, sehingga merasa tak mungkin jika harus bersatu dengan Aqil. Hatiku sedikit lega dan akupun berterus terang bahwa sebenarnya Aqil ingin menikahiku.
Hampir sebulan ini tak ada kabar dari Aqil. Aku menantikan jawaban darinya tentang pengajuanku meminta waktu 6 bulan untuk persiapan menikah karena ingin mempersiapkan dan mengondisikan keluarga, sekaligus targetku untuk mengikuti program Tahfidz Quran agar kelak aku bisa menjadi istri yang shalihah dan menjadi ibu yang mampu mendidik anak-anaku dengan Al-quran. Aku tanyakan kembali kepada Tina bagaimana tanggapan Aqil terkait pengajuanku. Aku berusaha menghindari intensitas komunikasi langsung dengannya. Esoknya aku dapat kabar dari Tina bahwa Aqil tidak dapat memenuhi pengajuanku, ia diminta orang tuanya untuk menikah dengan segera dan tidak bisa menunggu dalam waktu yang ku ajukan. Air mataku terus mengalir sejak aku mendengar kabar tersebut hingga larut malam akupun tak dapat tidur. Apakah karena ia menunggu terlalu lama sejak kepergianku setahun berlalu? kini aku masih meminta waktu untuk dia menunggu selama 6 bulan? Berbagai pertanyaan terus berdatangan di fikiranku, mengapa Aqil akhirnya memutuskan demikian. Bukankah selama ini ia menantiku dalam penantian yang sangat panjang?, namun kenapa ia dengan mudah menolak pengajuanku?. Akhirnya aku menghubungi Tina agar menyampaikan kepada Aqil bahwa aku meralat keputusanku dan bersedia untuk memenuhi waktu dalam 2 bulan ke depan setelah masa kontrak kerjaku habis. Aku sangat berharap keputusanku yang sekarang mampu membayar kesalahanku pada Aqil.

Seminggu kemudian aku mendapat kabar dari Tina bahwa Aqil tetap tidak bisa menikah denganku karena tidak disetujui orang tuanya yang merasa berat dengan kondisiku dan kondisi keluargaku. Aku berusaha memahami keputusannya, orang tuanya pasti ingin yang terbaik untuk anaknya, apalagi ia anak satu-satunya di keluarga, dan ia pun berusaha patuh atas segala kemauan orang tuanya, karena ia mendapatkan kasih sayang yang sangat penuh dari mereka. Berbeda denganku yang sejak kecil dituntut untuk hidup mandiri.

Aqil sama sekali tak memberikan penjelasan langsung kepadaku, ia menghilang begitu saja, aku butuh penjelasannya, mengapa semua keputusan itu ia berikan. Ia seperti menghilang entah di dunia mana, tak ada kabar, sedang hatiku, fikiranku, dan fisikku kian melemah seperti tak ada energi dan semangat hidup selama hampir tiga bulan ini. Berat badanku turun hingga beberapa kilogram, kurus dan layu. Cinta yang kian lama terpendam tak mudah begitu saja hilang, demikianlah fitrah cintaku sebagai seorang wanita, terlalu sulit dengan cepat untuk melepaskan, apalagi melupakannya. Walau begitu banyak rasa sakit hati ini, namun perasaan harap bahwa suatu Saat Allah mempertemukan kami kembali selalu muncul. Tapi aku yakin bahwa Allah akan memberikan yang terbaik, walaupun bukan dengan sesosok orang yang kuharapkan, karena Allah lebih tahu tentang kebutuhan dan yang terbaik untukku dan untuknya. Aku ingin suatu saat nanti bisa bertemu Aqil, ketika ia sudah menjadi seorang Manajer, motivasi yang selalu kuberikan untuk dia agar tetap optimis dalam pekerjaannya, saat ia meminta solusi kepadaku untuk keluar dari perusahaannya, walau mungkin suatu saat ia akan bersanding dengan orang lain. Aku hanya ingin kembali menjadi sahabatnya, menjadi kakanya, menjadi gurunya, tempat ia berbagi seperti dulu.

Namun entahlah, ia menghilang entah kemana. Aku ingin nafsu makanku kembali normal, sehingga akupun tak mendzalimi diriku sendiri. Setahun sudah semua menyita fikiran dan perasaan. Semoga semua ini menjadi pelajaran yang bisa kuambil hikmahnya. Sekali lagi Cintaku karena Allah, cinta yang tak harus kumiliki, ingin kucintai apa-apa yang kumiliki, apa yang Allah anugerahkan. Aku hanya ingin seperti dulu, yang ceria dan optimis menatap masa depan, karena aku yakin Allah telah mengatur semuanya, mungkin dia hanya sesosok yang mampir minum di rumahku, kemudian pergi lagi dan hanya sedikit menjadi bagian dari sejarah perjalanan hidupku. Tak ada yang perlu disesali, yang ada kita harus lebih dewasa dan berusaha untuk menjadi lebih baik. Memperbaiki kualitas diri, membekali diri mejadi insan yang shalih, insya Allah akan selalu ada jalan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun