"Ibu mana yah?"
"Ibu lagi sIbuk masak dirumah, ada arisan keluarga dirumah jadinya rame"
"Kalo arisan keluarga kenapa ayah gak ikut?"
"Ayah kangen pengen lihat anak ayah pake sarung sama kopiah kayaknya makin ganteng" aku hanya membalas senyum dan langsung  mengajak ke tempat pengiriman. Ayah merangkulku dan menggandeng adik. Ada rasa senang saat itu namun kecewa juga ikut datang bersamaan. Namun rasanya tak pantas aku mengungkapkan rasa kecewa ini pada ayah yang sudah berusaha untuk tetap datang mengunjungiku, lagipula aku tahu meski Ibu tidak ikut aku yakin doa-doa dari Ibu tak akan pernah berhenti untuk anaknya.
***
"Ini nasinya gak bawa dari rumah, tadi beli di warung deket deket sini soalnya keburu buru tadi pagi jadinya ketinggalan di meja teras"
"Oh. Iya gak papa, Yah. Yang penting ayah bawanya nasi bukan beras" aku berusaha menghIbur hatiku sendiri, dan seperti biasa ayah yang selalu senang jika diajak bercanda. Disitu rindu akan tawa dari seorang ayah sudah terbayar, tetapi rindu tentang masakan seorang Ibu rasanya sudah tak dapat dilukiskan lagi dengan kata-kata.
 "Dam, nenek sakit  sudah 5 hari,sekarang ada di Rumah sakit umum. Ayah sudah izinkan kamu ke ustad untuk pulang menjenguk nenek dulu" aku langsung mengiyakan perkataan ayahku. Kami pun langsung berangkat menuju kota Malang yang sering kurindukan. Aku berusaha menahan pikiranku, karena Ibu lagi-lagi tak ikut mengunjungiku.
***
"Nak ayo bangun dulu sudah sampai"
"Loh, kita langsung ke rumah sakit? Gak pulang dulu? Ibu dimana? Nanti Ibu berangkat sama siapa?" pertanyaanku tak lagi dapat dibendung.