Mohon tunggu...
Naura Syafiya
Naura Syafiya Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

mahasiswa semester 7 jurusan Ilmu Ekonomi Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Mampukah Kebijakan Makroprudensial dalam Menjaga Stabilitas Sistem Keuangan Setelah Pandemi?

17 November 2024   16:50 Diperbarui: 17 November 2024   16:50 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Covid-19 pada tahun 2020 telah mengakibatkan dampak yang luar biasa terhadap perekonomian global, termasuk di Indonesia. Pandemi ini menyebabkan penurunan tajam dalam berbagai sektor, seperti pariwisata, perdagangan, dan industri manufaktur, yang mengarah pada pemutusan hubungan kerja (PHK) massal, penurunan daya beli masyarakat, serta peningkatan angka kemiskinan. Selain itu, pemerintah Indonesia menghadapi tantangan besar dalam menanggulangi penyebaran virus sekaligus menjaga stabilitas ekonomi, dengan menerapkan berbagai kebijakan seperti pembatasan sosial berskala besar (PSBB), stimulus ekonomi, dan program bantuan sosial untuk masyarakat terdampak. Pemulihan ekonomi yang lambat akibat pandemi juga memperburuk ketimpangan sosial dan ekonomi, yang memerlukan upaya ekstra untuk memastikan kesetaraan dalam distribusi bantuan serta peningkatan kapasitas sektor kesehatan dan pendidikan. 

Kebijakan makroprudensial adalah kebijakan yang dilakukan oleh bank sentral untuk mengatur sistem keuangan, terutama kegiatan kredit. Tujuannya adalah untuk menjaga stabilitas sistem keuangan dan meningkatkan kualitas perbankan. Kebijakan ini mencakup serangkaian langkah yang bertujuan untuk mengendalikan risiko sistemik, mengatur tingkat leverage bank, serta memastikan bahwa lembaga keuangan memiliki cadangan modal yang cukup untuk menghadapi guncangan ekonomi atau finansial.

Salah satu instrumen utama dalam kebijakan makroprudensial adalah pengaturan rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR), yang bertujuan memastikan bahwa bank memiliki modal yang cukup untuk menutupi potensi kerugian. Selain itu, pengaturan likuiditas, misalnya melalui rasio likuiditas yang sehat, juga penting untuk mengurangi risiko likuiditas yang dapat menyebabkan gangguan dalam sistem pembayaran dan kredit.

Titik Awal Kebijakan Makroprudensial

Setelah krisis 2008, Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mulai lebih fokus pada pengembangan kebijakan makroprudensial untuk menjaga stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan, bukan hanya stabilitas masing-masing bank atau lembaga keuangan secara terpisah. Oleh karena itu, kebijakan makroprudensial yang lebih formal dan terstruktur mulai dijalankan di Indonesia pada tahun 2010-an, terutama setelah dibentuknya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 2011. 

  • Pengaturan Rasio Kecukupan Modal (CAR) dan Likuiditas: Pengaturan mengenai rasio kecukupan modal (CAR) dan rasio pembiayaan terhadap dana pihak ketiga (LDR) mulai diperketat pasca-krisis global. Kebijakan ini diperkuat lagi pada tahun 2012, di mana Bank Indonesia meningkatkan pengawasan terhadap risiko likuiditas dan memperkenalkan kebijakan counter-cyclical.

  • Peraturan Bank Indonesia (PBI) tentang Macroprudential Policy Framework: Pada tahun 2013, Bank Indonesia mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 15/10/PBI/2013 yang mengatur Kebijakan Makroprudensial secara lebih komprehensif. Peraturan ini mencakup instrumen seperti pengaturan terhadap siklus kredit dan pengelolaan risiko sistemik yang berkaitan dengan sektor perbankan dan sektor keuangan lainnya.

  • Pembentukan OJK (2011): Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang dibentuk pada tahun 2011 memiliki tanggung jawab untuk mengawasi sektor keuangan secara menyeluruh, baik perbankan, pasar modal, maupun sektor asuransi. OJK bekerja sama dengan Bank Indonesia dalam merancang dan mengimplementasikan kebijakan makroprudensial yang lebih luas.

  • Kebijakan Counter-Cyclical dan Pengaturan Kredit Properti: Pada 2013 dan seterusnya, Bank Indonesia mulai menerapkan kebijakan counter-cyclical, yang mengatur pembatasan terhadap kredit konsumtif dan kredit properti. Kebijakan ini bertujuan untuk menghindari pertumbuhan kredit yang terlalu cepat, yang dapat menimbulkan risiko terhadap stabilitas ekonomi. Selain itu, pada tahun-tahun berikutnya, kebijakan terkait Loan to Value (LTV) pada kredit properti mulai diperkenalkan untuk mengurangi spekulasi di sektor properti.

  • Pengembangan Macroprudential Liquidity Management (MPLM): Seiring dengan dinamika perekonomian global, pada tahun 2017, Bank Indonesia memperkenalkan kebijakan Macroprudential Liquidity Management (MPLM) yang bertujuan untuk memperkuat pengelolaan likuiditas di sektor perbankan. Kebijakan ini memungkinkan BI untuk lebih fleksibel dalam mengelola arus likuiditas di pasar, terutama dalam menghadapi guncangan eksternal yang dapat mempengaruhi stabilitas keuangan domestik.

  • Implementasi Teknologi Finansial (Fintech): Pada tahun-tahun terakhir ini, seiring berkembangnya sektor fintech, Bank Indonesia dan OJK juga mulai merumuskan kebijakan untuk mengatur dan mengawasi sektor ini, guna mengurangi potensi risiko sistemik yang bisa ditimbulkan oleh pertumbuhan fintech yang cepat. Kebijakan terkait pengawasan fintech mulai dibentuk secara lebih formal pada tahun 2020-an

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun