Krisis keuangan global telah menunjukkan betapa rentannya sistem keuangan global dan bagaimana ketergantungan pada produk keuangan yang kompleks bisa menimbulkan dampak yang sangat merusak jika tidak dikelola dengan hati-hati. Krisis keuangan global memaksa banyak negara, termasuk Indonesia untuk menjaga stabilitas sistem keuangan karena terjadinya krisis dikarenakan belum terciptanya stabilitas sistem keuangan yang kuat. Stabilitas sistem keuangan memainkan peran fundamental dalam mendukung ekonomi yang sehat, mengurangi ketidakpastian, serta mencegah terjadinya krisis yang dapat menghancurkan perekonomian.Â
Stabilitas sistem keuangan yang kuat tidak hanya diperlukan untuk mencegah krisis, tetapi juga untuk menjaga kepercayaan investor, memperlancar aliran kredit, serta memastikan sektor perbankan dan lembaga keuangan dapat berfungsi dengan baik. Di Indonesia, misalnya, meskipun dampak langsung krisis keuangan global relatif terbatas, ketegangan yang ditimbulkan oleh ketidakpastian global masih dapat dirasakan, terutama dalam hal volatilitas nilai tukar dan pasar modal. Oleh karena itu, penguatan regulasi dan pengawasan sektor keuangan menjadi sangat penting untuk mencegah potensi kerusakan yang lebih besar di masa depan.
Dalam konteks ini, kebijakan makroprudensial muncul sebagai instrumen penting untuk menjaga stabilitas sistem keuangan, dengan fokus pada pengelolaan risiko sistemik yang dapat mempengaruhi seluruh sektor keuangan. Kebijakan makroprudensial bertujuan untuk mencegah terjadinya penumpukan risiko di sektor keuangan yang dapat menular dan memperburuk guncangan ekonomi, seperti yang terlihat selama krisis keuangan global 2008. Di Indonesia, implementasi kebijakan ini menjadi lebih mendesak pasca-krisis untuk memastikan bahwa lembaga keuangan dan pasar modal dapat bertahan dalam situasi ketidakpastian global tanpa mengorbankan stabilitas ekonomi domestik.Â
Kebijakan makroprudensial berfungsi untuk mengidentifikasi dan mengatasi potensi ketidakseimbangan yang dapat menciptakan risiko sistemik. Salah satu contoh dari kebijakan ini adalah pengaturan terhadap rasio kecukupan modal bank (capital adequacy ratio), yang memastikan bank memiliki cadangan modal yang cukup untuk menahan kerugian yang tidak terduga. Hal ini bertujuan untuk menghindari krisis perbankan yang dapat merembet ke sektor lain dalam perekonomian. Selain itu, kebijakan pengawasan terhadap pengelolaan risiko likuiditas dan manajemen risiko pasar juga menjadi bagian penting dari kebijakan makroprudensial, untuk mencegah terjadinya krisis likuiditas atau gelombang besar arus modal yang bisa merusak stabilitas ekonomi.
Selain itu, dalam kerangka kebijakan makroprudensial, Indonesia juga perlu memperkuat regulasi di sektor pinjaman berbasis properti dan sekuritisasi, yang menjadi salah satu faktor utama penyebab krisis keuangan global. Pengaturan yang lebih ketat terhadap pemberian pinjaman, terutama yang berisiko tinggi (seperti kredit subprima), serta pengawasan lebih ketat terhadap produk keuangan yang lebih kompleks, diharapkan dapat mengurangi potensi ketidakstabilan yang disebabkan oleh spekulasi pasar dan ketidakseimbangan dalam aliran kredit.
Indonesia menerapkan kebijakan makroprudensial pada sektor properti sebagai wujud perhatian serius pemerintah dan pemangku kepentingan di industri perbankan dengan munculnya peraturan Bank Indonesia pada rasio jumlah Loan to Value (LTV)Â atau Financial to Value (FTV)Â untuk kredit properti atau kendaraan bermotor.Â
Loan to value (LTV) properti adalah rasio yang mengukur perbandingan antara jumlah kredit atau pembiayaan yang dapat diberikan oleh bank dengan nilai agunan berupa properti pada saat pemberian kredit, berdasarkan penilaian harga properti yang terbaru. Kebijakan LTV bertujuan utama untuk menjaga stabilitas sistem keuangan dengan mengurangi risiko sistemik yang dapat muncul akibat kenaikan harga properti yang tidak didukung oleh dasar ekonomi yang kuat, serta mendorong fungsi intermediasi perbankan yang sehat dan seimbang dalam mendukung pertumbuhan ekonomi nasional.
Perubahan Kebijakan LTV di Indonesia
Bank Indonesia telah melakukan beberapa kali penyesuaian kebijakan LTV untuk mencocokkan dengan kondisi pasar dan perekonomian. Berikut adalah beberapa perubahan signifikan dalam kebijakan LTV:
2011: BI mulai mengatur rasio LTV untuk mengendalikan pembiayaan properti. Sebagai contoh, untuk pembelian rumah pertama dengan nilai tertentu, bank diperbolehkan memberikan LTV hingga 80%, sedangkan untuk rumah kedua dan seterusnya, LTV lebih rendah.
2015: Bank Indonesia memperkenalkan kebijakan relaksasi LTV, yang memungkinkan bank untuk meningkatkan batasan LTV pada kredit pemilikan rumah (KPR) dan kredit kendaraan bermotor, dengan syarat-syarat tertentu. Tujuannya adalah untuk mendorong pertumbuhan sektor properti dan konsumsi rumah tangga.
-
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!