Fiji merupakan negara yang memiliki komitmen dan inisiatif dalam rangka memenuhi target SDG 7 melalui penggunaan energi surya sejak tahun 2009 (Klaassen 2020). Bagaimanapun juga, komitmen Fiji tersebut menghadapi tantangan berupa minimnya aksesibilitas tenaga surya pada area-area rural karena harganya yang tidak terjangkau. Akibatnya, masyarakat lebih memilih untuk menggunakan generator diesel yang lebih terjangkau. Oleh karena itu, tulisan ini bertujuan untuk mengetahui dan memberikan rekomendasi atas permasalahan yang dihadapi oleh Fiji dalam pembangunan berkelanjutan.
Sebelum membahas mengenai perbaikan atas permasalahan, perlu untuk mengidentifikasi permasalahan tersebut dengan merujuk pada tiga pilar pembangunan berkelanjutan. Singkatnya, pembangunan berkelanjutan merupakan pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengurangi kebutuhan di masa depan atau generasi berikutnya. Pembangunan berkelanjutan terdiri atas tiga pilar yakni ekonomi, sosial, dan lingkungan (Mensah 2019). Pilar ekonomi menekankan aspek pertumbuhan ekonomi di mana sistem produksi dapat memenuhi tingkat konsumsi saat ini tanpa mengorbankan kebutuhan di masa depan. Pilar sosial berbicara tentang manusia yang mencakup aspek kesetaraan, pemberdayaan, aksesibilitas partisipasi, identitas budaya, dan stabilitas kelembagaan. Sedangkan pilar lingkungan merujuk pada bagaimana lingkungan dapat tetap produktif dan mampu mendukung kebutuhan hidup manusia.
Ketiga pilar itu memiliki keterkaitan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain (Mensah 2019). Keterkaitan tersebut dapat diilustrasikan sebagai berikut: ketika masyarakat adat rural Fiji tidak dapat membayar biaya panel surya per bulannya sebesar 18$ (ekonomi), mereka akan lebih memilih untuk menggunakan generator diesel karena harganya lebih terjangkau, namun dapat merusak lingkungan (lingkungan). Meskipun generator diesel merupakan teknologi yang andal dan mapan, tetapi teknologi tersebut menghasilkan emisi gas rumah kaca dan jejak karbon enam kali lebih besar dibandingkan dengan teknologi energi terbarukan, seperti tenaga surya (Brucoli et al. 2015). Apabila masyarakat rural Fiji terus-menerus menggunakan energi yang tidak ramah lingkungan, akan menimbulkan polusi udara yang dapat memengaruhi kesehatan masyarakat (sosial). Ketika masyarakat tidak dalam kondisi yang sehat, akan berakibat pada penurunan produktivitas penduduk (ekonomi). Apabila produktivitas stagnan, masyarakat akan tetap atau semakin miskin (sosial), dan siklus tersebut masih berlanjut.
Terlepas dari skenario keterkaitan antar pilar, penulis memandang bahwa permasalahan yang dihadapi Fiji termasuk ke dalam pilar sosial dari pembangunan berkelanjutan. Adapun dimensi sosial pembangunan berkelanjutan antara lain keadilan sosial dan keberlanjutan komunitas (Dempsey et al. 2009). Dimensi keadilan sosial berlandaskan pada keadilan dalam pembagian sumber daya dan kesetaraan kondisi. Sedangkan dimensi keberlanjutan komunitas merupakan kemampuan masyarakat itu sendiri dalam mempertahankan dirinya pada tingkat keberfungsian yang dapat diterima — ini berkaitan dengan modal sosial dan kohesi sosial. Pada intinya, dimensi sosial pembangunan berkelanjutan menekankan pada pemerataan akses dan keberlanjutan masyarakat itu sendiri. Pada awalnya pemerintah Fiji memasang panel surya di setiap hunian masyarakat adat pedesaan tanpa dipungut biaya. Inisiatif ini dimaksudkan untuk mengurangi emisi gas karbon dan ketergantungan terhadap impor energi. Namun, hal ini menjadi permasalahan karena tiap hunian harus membayar biaya sebesar 18$ per bulannya kepada pemerintah. Sedangkan hanya dibutuhkan satu generator diesel yang dapat menyediakan listrik untuk seluruh desa (Klaassen 2020). Hal ini berarti bahwa penduduk desa harus menanggung biaya rutin dan uang menjadi prasyarat untuk mengakses listrik.
Dalam rangka menyelesaikan masalah sosial tersebut, pengelolaan modal sosial sebagai sumber daya utama dan aset menjadi penting bagi pembentukan masyarakat yang berkelanjutan (Ly & Cope 2023). Sederhananya, modal sosial merupakan aset pribadi yang dapat dimanfaatkan oleh individu itu sendiri serta memberikan manfaat bagi individu lain dalam suatu kelompok sosial secara keseluruhan (Coleman 1988). Adapun enam strategi yang dapat dilakukan oleh pengambil kebijakan guna mengembangkan modal sosial antara lain (Suharto dalam Fathy 2019): (1) memperkuat kepercayaan sosial dengan win-win solution; (2) menumbuhkan nilai bersama melalui pendidikan, hukum, kebijakan, dan identitas bersama sebagai satu bangsa; (3) mengembangkan kohesivitas dan altruisme dengan pengurangan pajak bagi individu atau kelompok yang berkontribusi dalam kegiatan sosial; (4) memperluas partisipasi lokal melalui pendanaan proyek-proyek kemasyarakatan; (5) menciptakan jaringan dan kolaborasi antar lembaga (pemerintah, LSM, dan pengusaha); dan (6) meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam perumusan kebijakan dan implementasinya.
Pada intinya, permasalahan ini sangat berkaitan erat dengan bagaimana tiap individu atau stakeholder dalam memahami kepentingan dan kebermanfaatan bagi masing-masing pihak. Pemerintah menginginkan masyarakat untuk mendukung target pengurangan emisi karbon. Sedangkan masyarakat tidak menggunakan energi terbarukan tersebut karena terhalang oleh faktor ekonomi, bukan berarti mereka tidak mau menerapkannya. Oleh karena itu, penting untuk menumbuhkan kepercayaan sosial diantaranya tanpa ada pihak yang merasa dirugikan. Pemerintah alangkah baiknya tidak hanya menyediakan panel surya di tiap hunian, namun juga membuat skema pembayaran yang lebih terjangkau atau memberikan subsidi untuk mengurangi biaya. Selain itu untuk menumbuhkan pemahaman, pemerintah dapat memberikan edukasi kepada masyarakat terkait penggunaan dan pemeliharaan panel surya beserta manfaatnya bagi kesejahteraan masyarakat dalam jangka panjang. Terakhir, pemerintah dapat melakukan kolaborasi dengan pengusaha dan menarik investasi swasta guna memperluas energi surya di pedesaan. Sebagai penutup, penulis menyimpulkan bahwa untuk menciptakan pembangunan berkelanjutan tenaga surya di Fiji harus mempertimbangkan aspek modal sosial, termasuk kepercayaan, kerjasama, dan partisipasi aktif masyarakat.
Referensi:
Brucoli, Maria et al., 2015. “Off-grid power supply carbon footprint and sustainable energy planning of primary health facilities”, United Nations Development Programme (UNDP).
Coleman, J.S., 1988. “Social Capital in the Creation of Human Capital” American Journal of Sociology, 94: 95–120.
Dempsey, Nicola et al., 2009. “The Social Dimension of Sustainable Development:Defining Urban Social Sustainability”, Sustainable Development, 19(5):289–300.