Akhir-akhir ini perubahan iklim menjadi isu yang sangat diperhatikan, bahkan masuk kedalam SDG ke-13. Perubahan iklim merupakan fenomena alami namun, hal tersebut menjadi isu yang serius dikarenakan siklusnya yang cepat dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Penyebab dari percepatan siklus tersebut tidak lain karena ulah manusia itu sendiri. Manusia mengekstraksi bahan bakar fosil seperti batu bara dan minyak, kemudian membakarnya untuk dijadikan sebagai energi, sehingga CO2 Â semakin meningkat kemudian mengganggu siklus alami efek rumah kaca. Akibatnya, manusia dan alam sulit untuk beradaptasi dengan perubahan iklim yang cepat.Â
Dampak perubahan iklim bagi alam antara lain yakni musim kemarau berkepanjangan, kekeringan, mencairnya es di kutub, curah hujan yang tinggi, dan masih banyak lagi. Pada intinya, dampak-dampak tersebut juga mempengaruhi siklus-siklus alami yang ada di bumi ini sehingga ketidakteraturan terjadi di mana-mana. Banyak hal telah diupayakan oleh manusia untuk mencegah dan meminimalisir dampak dari perubahan iklim tersebut mulai dari gerakan mengurangi sampah plastik, penanaman tumbuhan hijau, gerakan 3R (recycle, reuse, reduce) hingga yang baru-baru ini adalah kampanye penghapusan email.Â
Namun, hasil penelitian  yang dilakukan oleh The  National Academy of Sciences (NAS) bersama dengan The Royal Society dalam bukunya yang berjudul Climate Change Evidence & Causes (2020, p.22) mengungkapkan bahwa meski emisi gas rumah kaca tiba- tiba berhenti, suhu permukaan bumi tidak langsung kembali seperti keadaan semula. Dibutuhkan ribuan tahun jika ingin suhu udara kembali seperti keadaan suhu di era pra-industri. Kemudian untuk apa kita bersusah payah memulihkan bumi ini padahal hal tersebut bisa saja menjadi kesia-siaan. Ramalan dalam penelitian tersebut tidak seharusnya membuat kita menjadi orang yang tidak peduli akan masa depan dari kehidupan di bumi ini,  justru sebaliknya.Â
Hal tersebut mengingatkan kita bahwa dalam dunia ini terdapat makhluk hidup lainnya seperti hewan dan tumbuhan. Semua makhluk hidup di bumi ini memiliki hak untuk dapat hidup. Sebagai manusia, satu-satunya makhluk yang mempunyai moralitas (Bertens, 2007, p.13), kita menyadari bahwa tindakan merusak lingkungan merupakan hal yang buruk. Kita boleh saja untuk mengeksplorasi alam ini, namun bukan berarti kita dapat merusaknya dan berbuat semau kita. Tak ada ruginya jika manusia menjaga bumi ini, karena apa yang kita jaga pasti akan kembali kepada kebaikan kita sendiri.Â
Referensi
Bertens, K. (2007) Etika.10th edn. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Spiske, M. (2019) Unsplash [online]. Available at: https://unsplash.com/photos/dYZumbs8f_E?utm_source=unsplash&utm_medium=referral&utm_content=creditShareLink (Accessed: 19 June 2022).
Wolff, E., Fung, I., Hoskins, B., Mitchell, J., Palmer, T., Santer, B., Shepherd, J., Shine, K., Solomon, S., Trenberth, K., Walsh, J., and Wuebbles, D., (2020)Â Climate Change Evidence & Causes Update 2020 [online]. Available at: (Accessed 19 June 2022).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H