Abita Larasati itu namaku. Yah, 5 tahun lalu aku  dengan Surai hitam panjang bergerak indah di punggungku.Â
Aku Memakai seragam sekolah putih abu, juga sepatu Ventela hitam mengkilat di kaki ku dan tas hitam yang selalu tampak baru.
"Bita!jadi kan ngerjain tugas kelompoknya..? Jangan numpang nama aja!" . Teriak Bagas.
"Iyaa.. bentar Gas, buku Bita ketinggalan di kelas! Halah biasanya juga kamu yang numpang nama!". Sahutku lalu berlari dari gerbang sekolah menuju kelas.
Bagas Gamali itu temanku. Ia selalu memakai kalung logam yang berpeluit di lehernya yang kerap ia gunakan saat di atas kapal.
Memakai seragam yang sama dengan Abita walau seragam Bagas sedikit lebih lusuh, dan kekuningan. Juga sepatu robek yang identik dengannya. Bagas memang orang yang sangat sederhana.
Hari itu aku pulang sekolah lebih cepat dari biasanya. Aku akan mengerjakan tugas dengan Bagas teman sejatiku kala itu. Ralat tak hanya kali itu Bagas akan selalu dinanti olehku.
"Yok Bagas" . Ujarku saat sudah menaiki sepeda itu.Â
"Lama banget kamu! tuh sampai memutih rambutku..". Candaan Bagas yang akhirnya dibalaskan toyoran di kepalanya. Kami pun berboncengan sepeda ontel yang berkarat karena sudah dimakan waktu milik Bagas.
Abita sangat menikmati perjalanan itu. Angin pantai berhembus tenang seirama dengan suara hitamnya.
"Gas! Rumah kamu masih jauh..? Nanti aku lompat nih!" .Ujarku
"Yaudah lompat aja.. tuh temenan sama padi aja sana!".Jawab Bagas sambil terkekeh
"Dih! Nanti aku tenggelamin, baru tau..". Balasku
Kami berdua melewati jalanan berbatu, pasar tradisional, tepi sawah, hingga beberapa waktu lama kemudian dari kejauhan tampak gubuk kecil yang mungkin hanya sebesar kamar Abita.
Dari gubuk itu di belakangnya tampak lautan yang sangat indah bak surga. Di sana teduh, berpohon rindang, dan semilir angin laut menyapa wajahku lembut.
Rumah itu ditinggali oleh 5 orang. Abah, amak, ibu, Bira, dan Bagas. Tidak dengan bapak Bagas yang sekarang di Balikpapan. Korban pembunuhan di PT milik bapaknya. Yang menyebabkan kehidupan Bagas berubah drastis. Tragis memang.
Di halaman rumah, gadis kecil dengan baju tidur kebesarannya dan senyum terkembang berlari ke arahku. Kulit sawo matang yang persis sama dengan Bagas. Indah. Dia Malbira thory adik semata wayang Bagas.
Malbi menghampiri Bagas dan menyalaminya. Seperti biasa, mereka berbicara dengan bahasa isyarat aku hanya bisa melihat tak mengerti. Ya! Malbi memang seorang tuna wicara
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H