Hak Asasi Manusia (HAM) adalah prinsip universal yang mengatur hak dan martabat semua individu. Namun implementasinya sering kali diabaikan di berbagai belahan dunia. Krisis Rohingya di Myanmar adalah contoh nyata pelanggaran HAM jangka panjang.
 Artikel ini membahas dari sudut pandang teori politik dan juga memanfaatkan pemikiran para tokoh dan filsuf Yunani untuk memberikan konteks yang lebih mendalam mengenai hak dan kewajiban negara terhadap warga negaranya.
Rohingya adalah kelompok etnis Muslim yang tinggal di negara bagian Rakhine, Myanmar. Mereka telah lama menghadapi diskriminasi dan penindasan dari pemerintah Myanmar yang tidak mengakui mereka sebagai warga negara.Â
Sejak kemerdekaan Myanmar pada tahun 1948, etnis Rohingya dianggap sebagai imigran ilegal dari Bangladesh, meskipun mereka telah tinggal di wilayah tersebut selama beberapa generasi. Ketimpangan ini semakin diperburuk dengan pecahnya konflik bersenjata antara  militan Rohingya dan pemerintah Myanmar.
Pada bulan Agustus 2017, serangan terhadap kantor polisi oleh Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA), sebuah kelompok etnis Rohingya, memicu respons militer yang brutal. Operasi ini mencakup pembunuhan massal, pemerkosaan, dan pembakaran desa, yang mengakibatkan lebih dari 700.000 warga Rohingya melarikan diri ke Bangladesh.Â
Menurut laporan PBB, tindakan tersebut dapat dianggap sebagai pembersihan etnis. Krisis ini tidak hanya mempunyai dampak kemanusiaan yang besar, namun juga menimbulkan pertanyaan serius mengenai hak asasi manusia dan tanggung jawab negara.
Pelanggaran hak asasi manusia terhadap etnis Rohingya telah terjadi selama bertahun-tahun, namun meningkat secara dramatis sejak tahun 2017. Laporan dari berbagai organisasi internasional, termasuk PBB, menunjukkan bahwa pemerintah Myanmar mengambil tindakan yang melanggar hak-hak dasar etnis Rohingya, termasuk hak untuk hidup, Â kebebasan bergerak, dan hak atas perlindungan hukum.
Salah satu bentuk pelanggaran yang paling menonjol adalah kekerasan seksual terhadap perempuan Rohingya. Banyak laporan mengatakan militer Myanmar menggunakan pemerkosaan dan kekerasan seksual  untuk mengintimidasi dan mengusir warga Rohingya dari tanah air mereka. Selain itu, banyak warga Rohingya  terpaksa hidup dalam kondisi yang tidak manusiawi di wilayah pengungsi, dengan akses terbatas terhadap makanan, air bersih, dan layanan kesehatan.
Krisis Rohingya di Myanmar dapat dianalisis melalui teori-teori ilmu negara yang menggarisbawahi hubungan antara kekuasaan dan tanggung jawab negara terhadap warganya. Dalam konteks ini, pemikiran Plato (427--347 SM) dan Aristoteles (384--322 SM) memberikan perspektif penting tentang keadilan dan tanggung jawab pemerintahan.
Plato, dalam karyanya "Republik," menekankan pentingnya keadilan sebagai dasar pemerintahan yang baik. Ia berpendapat bahwa negara seharusnya dipimpin oleh para filsuf raja yang bijaksana, yang mampu memastikan kesejahteraan semua warganya.Â
Dalam konteks krisis Rohingya, kegagalan pemerintah Myanmar untuk melindungi hak-hak Rohingya mencerminkan ketidakadilan yang bertentangan dengan prinsip yang diajukan Plato bahwa pemerintah harus mengutamakan kebaikan bersama di atas kepentingan kelompok tertentu.
Sementara itu, Aristoteles dalam "Politika" membahas tentang keadilan distributif dan komutatif, di mana ia menekankan bahwa keadilan harus mencakup distribusi kekuasaan dan sumber daya yang adil di antara semua warga negara. Dalam kasus Rohingya, ketidakadilan yang terlihat dalam dominasi etnis Buddha Rakhine atas Rohingya menunjukkan kegagalan dalam prinsip-prinsip yang diusulkan oleh Aristoteles.
 Ia berargumen bahwa setiap warga negara memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan dan keadilan, dan pelanggaran yang dialami oleh Rohingya menegaskan bahwa negara tidak hanya gagal melindungi hak-hak ini, tetapi juga berkontribusi pada ketidakadilan struktural.
Dalam konteks teori ilmu negara modern, argumen dari para pemikir Yunani ini menggarisbawahi bahwa negara tidak hanya memiliki kekuasaan, tetapi juga tanggung jawab moral untuk melindungi hak asasi manusia dan memastikan keadilan bagi semua warganya. Krisis Rohingya mengilustrasikan bagaimana ketidakadilan dan penyalahgunaan kekuasaan dapat merusak tatanan sosial dan menimbulkan krisis kemanusiaan yang serius.
Krisis Rohingya menimbulkan pertanyaan etis yang mendalam tentang tanggung jawab negara dalam melindungi hak asasi manusia. Menurut prinsip-prinsip hak asasi manusia internasional, setiap negara memiliki kewajiban untuk melindungi warganya dari pelanggaran hak asasi manusia, termasuk kekerasan dan diskriminasi. Namun, pemerintah Myanmar telah gagal dalam memenuhi tanggung jawab ini, yang mengakibatkan penderitaan yang luar biasa bagi Rohingya.
Respon internasional terhadap krisis Rohingya telah bervariasi. Organisasi internasional, seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), telah mengeluarkan laporan mengecam pelanggaran HAM di Myanmar.Â
Namun, banyak negara yang memiliki hubungan diplomatik dengan Myanmar cenderung diam. Hal ini menunjukkan bahwa kepentingan politik sering kali mengalahkan prinsip-prinsip hak asasi manusia.
Sebagaimana dinyatakan oleh Plato (427--347 SM), keadilan adalah kebaikan yang harus dicari oleh setiap individu dan masyarakat. Dalam konteks ini, kita bisa mempertanyakan: Apakah masyarakat internasional telah bertindak adil terhadap Rohingya? Apakah kita sebagai bagian dari komunitas global telah memenuhi tanggung jawab moral kita untuk melindungi mereka?
Kesimpulan
krisis yang dialami oleh komunitas Rohingya di Myanmar adalah cerminan dari kegagalan sistemik dalam melindungi hak asasi manusia di tingkat nasional dan internasional. Teori-teori ilmu negara, termasuk pemikiran dari tokoh-tokoh Yunani seperti Plato dan Aristoteles, menunjukkan bahwa pemerintah memiliki tanggung jawab moral untuk melindungi hak-hak warganya.Â
Kegagalan pemerintah Myanmar dalam memenuhi kewajiban ini, yang tercermin dalam tindakan diskriminatif dan kekerasan terhadap Rohingya, mencerminkan ketidakadilan yang mendalam dan penyalahgunaan kekuasaan.
Lebih jauh, krisis ini menunjukkan bahwa kedaulatan tidak seharusnya menjadi alasan untuk mengabaikan tanggung jawab terhadap hak asasi manusia. Dalam konteks global, penting bagi masyarakat internasional untuk memberikan tekanan dan dukungan yang diperlukan untuk memperbaiki situasi ini.Â
Hanya dengan kolaborasi antara negara-negara, organisasi internasional, dan masyarakat sipil, kita dapat berharap untuk menciptakan solusi yang komprehensif dan berkelanjutan bagi Rohingya dan semua komunitas yang terpinggirkan. Dengan demikian, penegakan HAM harus menjadi prioritas utama dalam usaha menciptakan dunia yang lebih adil dan berkelanjutan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H