Mohon tunggu...
Naura Fildza
Naura Fildza Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Hak Asasi dan Krisis Rohingya, Perspektif Teori Ilmu Negara

14 Oktober 2024   03:27 Diperbarui: 14 Oktober 2024   05:06 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Sementara itu, Aristoteles dalam "Politika" membahas tentang keadilan distributif dan komutatif, di mana ia menekankan bahwa keadilan harus mencakup distribusi kekuasaan dan sumber daya yang adil di antara semua warga negara. Dalam kasus Rohingya, ketidakadilan yang terlihat dalam dominasi etnis Buddha Rakhine atas Rohingya menunjukkan kegagalan dalam prinsip-prinsip yang diusulkan oleh Aristoteles.

 Ia berargumen bahwa setiap warga negara memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan dan keadilan, dan pelanggaran yang dialami oleh Rohingya menegaskan bahwa negara tidak hanya gagal melindungi hak-hak ini, tetapi juga berkontribusi pada ketidakadilan struktural.

Dalam konteks teori ilmu negara modern, argumen dari para pemikir Yunani ini menggarisbawahi bahwa negara tidak hanya memiliki kekuasaan, tetapi juga tanggung jawab moral untuk melindungi hak asasi manusia dan memastikan keadilan bagi semua warganya. Krisis Rohingya mengilustrasikan bagaimana ketidakadilan dan penyalahgunaan kekuasaan dapat merusak tatanan sosial dan menimbulkan krisis kemanusiaan yang serius.

Krisis Rohingya menimbulkan pertanyaan etis yang mendalam tentang tanggung jawab negara dalam melindungi hak asasi manusia. Menurut prinsip-prinsip hak asasi manusia internasional, setiap negara memiliki kewajiban untuk melindungi warganya dari pelanggaran hak asasi manusia, termasuk kekerasan dan diskriminasi. Namun, pemerintah Myanmar telah gagal dalam memenuhi tanggung jawab ini, yang mengakibatkan penderitaan yang luar biasa bagi Rohingya.

Respon internasional terhadap krisis Rohingya telah bervariasi. Organisasi internasional, seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), telah mengeluarkan laporan mengecam pelanggaran HAM di Myanmar. 

Namun, banyak negara yang memiliki hubungan diplomatik dengan Myanmar cenderung diam. Hal ini menunjukkan bahwa kepentingan politik sering kali mengalahkan prinsip-prinsip hak asasi manusia.

Sebagaimana dinyatakan oleh Plato (427--347 SM), keadilan adalah kebaikan yang harus dicari oleh setiap individu dan masyarakat. Dalam konteks ini, kita bisa mempertanyakan: Apakah masyarakat internasional telah bertindak adil terhadap Rohingya? Apakah kita sebagai bagian dari komunitas global telah memenuhi tanggung jawab moral kita untuk melindungi mereka?

Kesimpulan

krisis yang dialami oleh komunitas Rohingya di Myanmar adalah cerminan dari kegagalan sistemik dalam melindungi hak asasi manusia di tingkat nasional dan internasional. Teori-teori ilmu negara, termasuk pemikiran dari tokoh-tokoh Yunani seperti Plato dan Aristoteles, menunjukkan bahwa pemerintah memiliki tanggung jawab moral untuk melindungi hak-hak warganya. 

Kegagalan pemerintah Myanmar dalam memenuhi kewajiban ini, yang tercermin dalam tindakan diskriminatif dan kekerasan terhadap Rohingya, mencerminkan ketidakadilan yang mendalam dan penyalahgunaan kekuasaan.

Lebih jauh, krisis ini menunjukkan bahwa kedaulatan tidak seharusnya menjadi alasan untuk mengabaikan tanggung jawab terhadap hak asasi manusia. Dalam konteks global, penting bagi masyarakat internasional untuk memberikan tekanan dan dukungan yang diperlukan untuk memperbaiki situasi ini. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun