Letak geografis Selat Hormuz berada tepat di antara Iran dan Oman, serta berbatasan langsung dengan Uni Emirat Arab. Letak Selat Hormuz memiliki nilai strategis karena menghubungkan jalur perdagangan dari Laut Arab hingga Samudra Hindia, dari Timur Tengah hingga negara-negara di Asia dan Eropa. Baik Amerika Serikat maupun Iran memiliki kepentingan strategis dalam menjaga keamanan dan stabilitas di Selat Hormuz. Sejak tahun 1979, kedua negara saling berkonflik yang berpuncak pada terbunuhnya komandan militer Iran yaitu Jenderal Qassem Soleimani atas perintah dari Presiden Donald Trump pada 3 Januari 2020 lalu. Hal ini menyebabkan situasi keamanan di Selat Hormuz terganggu sebab Iran mengancam akan menutup jalur lalu lintas selat. Meningkatnya konflik dan ketegangan antara Amerika Serikat dan Iran telah menyebabkan fluktuasi stabilitas keamanan maritim di Selat Hormuz. Sehingga mengganggu perdagangan melalui selat tersebut, berupa pengurangan ketergantungan minyak dan pengalihan jalur perdagangan dari negara-negara yang menggunakan Selat Hormuz.
Kronologi Lengkap Konfrontasi AS-Iran di Selat Hormuz
Konflik antara Iran dan Amerika Serikat yang berlangsung sejak revolusi Iran pada tahun 1979 dapat mengganggu hubungan harmonis antara Iran dan Amerika Serikat. Sebelum revolusi Iran, Amerika Serikat dan Iran memiliki persahabatan yang sangat harmonis, terbukti dengan berbagai kegiatan kerjasama mereka, yang salah satunya yaitu program pengembangan teknologi nuklir. Sejak itu, Iran telah dikenai berbagai sanksi ekonomi termasuk sanksi keuangan/perbankan, sanksi ekspor minyak, sanksi perdagangan yaitu larangan AS terhadap sebagian besar bisnis Amerika yang berdagang atau berinvestasi di Iran, pembekuan aset dan larangan perjalanan, serta sanksi terhadap pengembangan senjata.
Minyak dan gas menjadi sumber energi yang penting bagi suatu negara sebagai pembangkit di bidang industri. Kedua elemen tersebut banyak berasal dari negara pengekspor di kawasan Timur Tengah. Minyak tersebut kemudian disalurkan melalui jalur laut yaitu Selat Hormuz yang merupakan salah satu titik distribusi minyak penting di dunia karena besarnya volume minyak yang melewati selat tersebut. Semua kapal tanker yang mengangkut atau mengambil minyak dari pelabuhan di Teluk Persia harus melewati selat ini. Lokasi ini merupakan jalur tercepat transportasi global minyak yang akan diekspor ke berbagai kawasan, terutama kawasan Asia yang merupakan salah satu importir minyak mentah terbesar dunia, sehingga menjadikan selat ini sebagai jalur pelayaran tersibuk di kawasan tersebut.
Iran mengklaim Selat Hormuz sebagai wilayah kedaulatannya dan mengancam akan menutupnya jika Amerika Serikat maupun Israel menyerang atau menjatuhkan sanksi terhadap Iran. Jika Iran melakukan ancamannya dan memblokir jalur melalui Selat Hormuz ke negara lain, itu akan menjadi suatu pelanggaran terhadap Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) yang juga ditandatangani oleh Iran. Konflik di Selat Hormuz telah berlangsung sejak 1980-an, terutama selama perang kapal tanker antara Iran dan Irak. Namun kemudian pada 2018-2020, konflik terjadi sebagai konfrontasi militer antara Iran dan Amerika Serikat.
Pada Juli 2018, Presiden AS Donald Trump meminta negara-negara di seluruh dunia untuk berhenti membeli minyak dari Iran. Ini merupakan kelanjutan dari keputusan Trump pada Mei 2018 untuk menarik negaranya dari perjanjian Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA), di mana melalui perjanjian tersebut, 5 negara besar di dunia (AS, Inggris, Prancis, Rusia, China, dan Uni Eropa yang diwakili oleh Jerman) telah sepakat untuk mencabut sanksi serta embargo terhadap Iran, dan sebagai gantinya Iran siap untuk mengurangi dan menonaktifkan program nuklir yang dikembangkannya. Sebelumnya, Iran dituduh oleh Israel dan AS tengah mengembangkan teknologi senjata nuklir, dan karena itu Iran dikenai sanksi yang menekan ekonominya. Tindakan sepihak Presiden Trump ini menarik perhatian internasional serta keluarnya AS dari perjanjian tersebut, bersamaan dengan kembalinya beberapa sanksi terhadap Iran, sehingga mendorong Iran untuk menanggapinya dengan ancaman akan menutup Selat Hormuz.
Sebelumnya, di bawah pemerintahan Mohammed Reza Shah, Iran bekerja sama dan mendapat bantuan dari Amerika Serikat melalui program yang bertujuan penggunaan energi atom untuk mendukung perdamaian dunia. Tindakan pengembangan energi nuklir Iran yang sedang berlangsung dianggap melanggar kesepakatan yang dibuat berdasarkan NPT hingga membawa Iran ke dalam kesepakatan yang disebut Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA). Setelah perjanjian tersebut berlangsung selama tiga tahun, Amerika Serikat menarik diri dari perjanjian tersebut dengan alasan bahwa Iran telah melakukan banyak penipuan dan pelanggaran. Berdasarkan berbagai tudingan dan sanksi tersebut, pemerintah AS terus melakukan berbagai upaya untuk kemungkinan menekan Iran. Menurut pengamat politik internasional, Dina Y. Sulaeman, tuduhan dan sanksi yang dijatuhkan Amerika Serikat terhadap Iran sama sekali tidak ada artinya. Tuduhan tersebut hanyalah alasan bagi Amerika Serikat untuk menekan Iran agar lebih patuh. Hal ini menunjukkan bahwa Amerika Serikat merupakan kekuatan yang sangat arogan dan memaksakan pandangannya terhadap negara lain serta tidak menghormati perjanjian.
Selain itu, sebagaimana telah banyak dibahas bahwa selama Amerika Serikat tetap menegaskan bahwa kepentingan nasionalnya sama dengan kepentingan nasional Israel, selama itu pula Amerika Serikat masih akan menyatakan perangnya terhadap Timur Tengah, sebab Israel adalah akar utama permasalahan di Kawasan tersebut. JCPOA hanyalah salah satu dari banyak masalah yang diciptakan oleh Amerika Serikat di Timur Tengah. Tidak berhenti di situ, sanksi dan tuduhan AS terhadap Iran hanyalah salah satu dari banyak peristiwa dalam konflik kedua negara, termasuk kematian Mayor Jenderal Qaseem Soleimani, tak lama setelah tiba di Bagdad pada 3 Januari 2020. Serangan langsung AS yang menyebabkan kematian seorang pejabat militer yang sangat terkenal serta dihormati di Timur Tengah itu mengejutkan dunia, tidak hanya pemerintah Iran yang marah dengan serangan tersebut, akan tetapi United Nations dan negara lain pun ikut geram.
Analisis Konflik Melalui Perspektif Neo-realisme
Melalui perspektif neo-realisme, struktur anarki internasional lebih berpengaruh pada perilaku negara dalam politik internasional daripada sifat alami manusia yang saling bertentangan. Struktur negara memaksa negara lain untuk saling bertindak agresif satu sama lain. Struktur internasional yang anarki melihat seberapa besar kekuatan negara dari kapasitas militer yang dimiliki. Berlawanan dengan pandangan kaum realis tentang power sebagai satu-satunya kekuatan militer, kaum neo-realisme memandang kekuasaan sebagai akumulasi semua aspek dan sumber daya milik suatu bangsa, untuk memaksa dan mengendalikan negara lain dalam sistem internasional. Neo-relisme menurut Waltz, selalu menganggap kekuasaan sebagai faktor terpenting dalam hubungan internasional. Kekuasaan akan membantu suatu negara mendapatkan posisi aman dalam sistem anarkis yang berlaku di dunia. Pendekatan ini juga selalu menempatkan negara sebagai yang dominan atau bersifat State Centric, sehingga Setiap interpretasi berpusat pada negara. Sasaran di suatu negara tidak akan selesai sampai dapat dipertahankan Otonomi dan wilayah. Dengan demikian, muncul dan tingkatkan kekuatan Yang milik suatu negara dapat menimbulkan ancaman bagi negara-negara lain di sekitarnya.