Mohon tunggu...
Naufil Istikhari
Naufil Istikhari Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Psikologi Fakultas Ilmu Sosial & Humaniora UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pantai Lombang dalam Sengketa dan Estetika

12 Desember 2010   03:18 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:48 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keindahan Pantai Lombang menjadi identitas tersendiri bagi Kabupaten Sumenep. Sebab, objek wisata yang satu ini menjadi tujuan utama wisatawan lokal khususnya di Madura. Hampir setiap hari, pantai yang menjadi ikon termahal milik Sumenep ini, tak pernah lengang dari pengunjung. Walaupun masih didominasi wisatawan lokal atau domestik.

Pantai yang berada di ujung timur pulau Madura ini, memiliki panorama yang sangat indah dan asri. Di sepanjang bibir pantai, tumbuh ribuan cemara udang yang sulit ditemukan di daerah lain. Pasir putih yang menghampar dan ombaknya yang ramah menjadi daya tarik tersendiri melengkapi keindahan wisata bahari ini. Bahkan, tak jarang wisatawan Asing yang menjadikan Pantai Lombang sebagai salah satu tujuan berwisata di Indonesia.

Hal itu, tentunya sangat menguntungkan bagi pemerintah daerah. Karena wisata ini dapat menambah porsi APBD di setiap tahunnya. Tak rugi jika pemerintah daerah harus mengeluarkan anggaran untuk pengelolaan secara kontinu. Sesuai dengan UU No. 10/2009, aset wisata dilindungi oleh negara.

Akan tetapi, di tengah estetika yang dipancarkan Pantai Lombang, timbul sengketa pelik. Pasalnya, tanah yang ditumbuhi cemara udang diklaim sebagai milik warga sekitar yang tidak ada sangkut pautnya dengan pemerintah. Artinya, pemerintah tidak mempunyai hak dalam mengelolanya apalagi sampai menarik keuntungan darinya. Tak pelak, sengketa antara warga dengan pemerintah daerah memicu tindakan destruktif yang merugikan banyak pihak. Hal itu bisa dilihat dari pemotongan dahan cemara udang dalam skala besar, yang mereka klaim sebagai hak miliknya secara utuh. Kemudian adanya penutupan akses menuju pantai dalam beberapa bulan. Dan ini sangat merugikan sekali terhadap pemasukan kas daerah.

Kasus sengketa tanah yang merugikan tersebut, berlanjut ke meja hijau. Meski Pengadilan Negeri Sumenep telah memutuskan kasus sengketa tersebut, namun warga belum menerima. Bahkan, ratusan dahan pohon cemara yang berada di areal dalam kawasan wisata banyak yang dipotong. Puluhan warga melakukan pemotongan dengan mesin jinsaw.

Sejak awal tahun 2009, kerabat Hasin (salah satu warga dekat Pantai Lombang) mempersoalkan status tanah sekitar satu hektare di areal dalam Pantai Wisata Lombang. Tanah yang diklaim kerabat Hasin tersebut, tercatat sebagai aset Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga (Disbudparpora) Sumenep.

Mereka yang mengklaim sebagai pemilik tanah tersebut juga mengajukan gugatan perdata kepada Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sumenep melalui PN setempat. Setelah melalui proses sidang sejak bulan April hingga bulan Oktober 2009 lalu, majelis hakim PN Sumenep memutuskan menolak gugatan kerabat Hasin. Kerabat Hasin yang tidak terima atas putusan tersebut, mencangkok dahan pohon cemara di areal dalam kawasan Pantai Wisata Lombang guna dijadikan bonsai. Peristiwa tersebut, sangat disesalkan oleh Kepala Dinas Budaya, Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga (Disbudparpora) Sumenep, Moh. Nasir.

Dua Masalah Besar

Tak terima dengan itu, warga melakukan banding yang hasilnya dimenangkan warga. Dari hasil keputusan tadi, menimbulkan konsekuensi jelas bagi masa depan wisata Pantai Lombang sendiri. Setidaknya, meliputi dua hal. Pertama, di saat Pantai Lombang benar-benar lepas dari pemerintah, maka kebijakan harus dibuat sendiri oleh warga setempat. Termasuk juga bagaimana cara mengelola dan mengembangkan agar menjadi objek wisata yang mendunia. Dan itu sangat sulit dilakukan, mengingat keterbatasan fasilatas serta SDM yang memadai. Sehingga muncul kepentingan-kepentingan individual tak ubahnya kaum feodal. Jika hal ini terjadi, usia keindahan Pantai Lombang tinggal menghitung hari saja. Kedua, bisa jadi independensi kepemilikan sekaligus pengelolaan Pantai Lombang akan menarik perhatian investor Asing untuk “bergabung” dengan cara membeli dan membebaskan tanah dari beban yang harus ditanggung oleh si pemilik. Kalau ini terjadi, akan menambah masalah baru yang tidak hanya merugikan warga setempat, pemerintah juga akan terkena imbasnya.

Kedua problem di atas tidak akan menemukan jalan tengahnya jika warga tetap bersikukuh mengelolanya secara independen dan tidak mau melibatkan pemerintah. Sehingga pada akhirnya, Pantai Lombang akan terasing menjadi objek wisata yang sepi pengunjung. Atau kalau kemungkinan yang kedua menjadi realita, sudah bisa ditebak, Pantai Lombang akan disulap menjadi tempat mewah yang serba ekslusif dengan dipenuhi hotel-hotel berbintang. Takutnya, nasib minyak di Pagerungan, Kangean, bakal menjalar ke Pantai Lombang (baca: di bawah kendali investor Asing).

Maka, langkah yang harus dilakukan adalah menjalin kerja sama yang intens antara kedua belah pihak, pemerintah dan pemilik tanah. Kerja sama itu meliputi pembagian wewenang sistem pengelolaan Pantai Lombang yang memang menjadi tugas pemerintah daerah, khususnya Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga (Disbudparpora) Sumenep. Hal itu diperlukan guna melestarikan aset berharga agar tidak terbengkalai dan sia-sia. Sebab, warga setempat tidak memiliki manajemen efektif dibanding pemerintah. Di sinilah, memorandem of understanding (MoU), mutlak dibutuhkan.

Sebelum terdengar kabar yang memikat daya tarik investor, langkah-langkah preventif guna memelihara keasrian pemandangan Pantai Lombang menjadi harga mati yang harus selalu dipertaruhkan. Sikap egoisme yang terlihat pada warga setempat, sebaiknya dibuang jauh-jauh demi kepentingan jangka panjang. Mengenai retribusinya, urusan belakangan. Hal yang penting dilakukan adalah menuntut nota kesepahaman antara pemerintah dan pemilik tanah untuk menghindari proses alienasi yang secara pelan tapi pasti mengancam estika Pantai Lombang menjadi buram karena tidak bersahabat dengan warga di dekatnya. Sengketa dengan pemerintah memang mencapai garis finish, akan tetapi nasib Pantai Lombang tidak berhenti di situ saja. Kesenjangan yang mengancam estetika akan selalu mengintai di balik kapitalisme para investor. Siapa rela estetika plus eksotika Pantai Lombang diakhiri dan dibumbui “sengketa”? Haruskah kita diam saja melihat nasib Pantai Lombang yang meredup itu?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun