Mohon tunggu...
Naufal Tsalits
Naufal Tsalits Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Menulis apa saja dan kapan saja (jika memang patut menulis).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Duri-duri Logam

24 Juli 2024   15:26 Diperbarui: 24 Juli 2024   15:26 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Suatu malam, langit menghunjamkan duri-duri logam ke Tanah Air Para Pencinta. Darah-darah bercucuran di daratan dan lautan. Darah-darah menyesap ke celah-celah bebatuan dan merayap di akar-akar pepohonan. Darah-darah Para Pencinta. Terhunjam di kulitnya, di dagingnya, di matanya, di hatinya, duri-duri logam bening runcing dingin yang melesat dari langit. Ada Pencinta dengan lubang di kulitnya. Ada Pencinta dengan lubang di dagingnya. Ada Pencinta dengan lubang di kedua matanya. Ada Pencinta dengan lubang besar di hatinya. Sambil ternganga, mereka menjerit. Sambil menjerit, mereka berlari, berputar, berlompatan, meringkuk, merintih, menggelinding. Darah-darah kental mengucur dan menjadi sungai lendir. Darah-darah deras banjir mengubur bebungaan merah jambu subur di kasur rerumputan. Dan duri-duri logam dari langit menyerbu Para Pencinta yang sekarat dan sempoyongan. Dan duri-duri logam dari langit menikam tiap kulit, tiap daging, tiap mata, tiap hati yang utuh dan sempurna. Dan langit berkedip dengan kilat dan duri-duri logam berhenti meluncur. Dan Para Pencinta berhenti menari dengan mati. Nyawa mereka terjaga dan terluka. Sukma mereka melesap dalam lava darah dan menguap ke angin yang menguap. Sukma Cinta. Serentak, mereka berlutut, mereka bersujud, mereka berkubang pada darah-darah mereka yang bertumpahan. Meruap aroma pekat yang sejuk pedih. Menggema derai-derai pedas dari dedaunan merah basah. Melenggok di kejauhan, di atas becekan darah, kenangan yang berlalu dan harapan yang menunggu. Serentak, mereka dongakkan kepala tak bermata mereka, mereka gumamkan bibir penuh gores mereka, mereka kembangkan kedua tangan penuh lubang mereka, mereka suguhkan dada bulat hitam besar mereka, pada langit. Serentak, mereka memadukan suara, mereka memadukan lengking, mereka memadukan mantra: "Hujan...... Hujan...... Hujan......!" Dan duri-duri logam menyembur dari langit seperti gerombolan kamboja yang ditebarkan di atas kubur.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun