Mohon tunggu...
Naufal Tsalits
Naufal Tsalits Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Menulis apa saja dan kapan saja (jika memang patut menulis).

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Presiden dari Negeri yang Jauh

18 Juli 2024   10:55 Diperbarui: 18 Juli 2024   10:55 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Temanku dari suatu negeri yang jauh
pernah berkisah tentang presidennya:
Kami tak pernah memilih presiden
melainkan membiarkan presiden
itu terpilih oleh keadaan; jika dia bisa
memimpin dan tangguh menghadap rintangan,
jika dia bisa berdiri dan membuat
semua yang rebah ikut berdiri,
jika dia bisa menghadapi bola api atau
duri salju, dan dia terluka tanpa mengeluh,
atau dia berdarah tanpa menyerah,
maka dia lah presiden kami. Dan dia
tak pernah mendaku dirinya presiden;
menjadi presiden adalah jawaban
dari tanggungan yang diberikan keadaan.

Lalu,
tanyaku, penuh rasa ingin tahu,
bagaimana jika presidenmu itu gagal
atau terbukti jatuh di tengah jalan?
apakah penggantinya perlu dipilih?
atau seperti katamu, terpilih oleh
keadaan? bagaimana jadinya jika
ternyata keadaan belum memilih
pengganti presiden yang dulu?
bukankah rakyat akan menjadi kisruh?

Dia isap cangklongnya dan menyungging senyum.
Dia keluarkan beberapa kepingan koin dari saku,
mengambil satu dan melemparnya.
Gambar kepala (pangeran? raja? presiden?)
mendarat di permukaan.
Dia lanjutkan:
Jika di tengah dia jatuh dan terbukti gagal,
kami bawa dia ke lapangan terbuka.
Dan satu di antara kami yang paling marah,
akan mengambil batu dan menimpuk kepalanya.
Setelah itu, kami menimpuknya beramai-ramai,
dan menimbunnya dengan sebongkah batu raksasa.
Dan yang paling marah di antara kami
akan berdiri di atas batu raksasa itu,
dan, jadilah dia presiden baru.

Kusimak penjelasannya sambil kupandang
gambar wajah koin di atas meja.
Sebelum sempat bertanya apa maksudnya,
dia keburu menjawab:
Dia adalah presiden pertama yang kami miliki.
Jasanya besar sebesar dosanya pada kami.
Dia memajukan ekonomi dan militer kami,
membasmi kejahatan dan mengurangi korupsi.
Tapi dia budak bagi nafsunya sendiri,
dan mencoreng akhlak tinggi negeri kami.
Dia hamili anaknya sendiri, dan setelahnya dikawini.
Kami rajam mereka berdua (tiga termasuk janin),
setelah itu kami enggan menengok kembali.
Tapi toh, lihat, kami juga yang membuatnya abadi!

Di seling kekeh temanku yang gagap dan patah,
aku cuma bisa merenungi:
Negeri macam apa ini?

(2024) 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun