Berbicara tentang "Industri 4.0," mungkin sebagian besar dari kita akan membayangkan robot pintar, kecerdasan buatan yang menguasai pabrik, atau internet yang terhubung dengan segala hal di sekitar kita. Namun, untuk benar-benar memahami revolusi teknologi ini, kita harus menengok kembali ke sejarah yang lebih panjang---sejak abad ke-19---ketika dunia pertama kali mengalami pergeseran besar dalam cara kita bekerja, berproduksi, dan bahkan berpikir.
Revolusi Industri pertama dimulai pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 di Inggris, ketika mesin uap pertama kali mengubah cara orang memproduksi barang. Sebelumnya, masyarakat dunia masih bergantung pada tenaga manusia dan hewan dalam memproduksi barang-barang, terutama di sektor pertanian dan kerajinan tangan. Namun, dengan ditemukannya mesin uap oleh James Watt pada tahun 1776, dunia industri mulai berkembang. Menurut David Landes dalam bukunya The Unbound Prometheus (1969), mesin uap ini memberikan loncatan besar dalam efisiensi produksi, mengubah kehidupan ekonomi dan sosial di seluruh dunia.
Namun, revolusi yang sesungguhnya dimulai tidak hanya dengan mesin uap. Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, "Industri 2.0" mulai muncul dengan penemuan listrik, motor listrik, dan produksi massal. Di sinilah kita mengenal konsep lini perakitan yang terkenal dengan nama Henry Ford. Ford, dengan keberaniannya yang luar biasa, membawa sistem produksi massal ke tingkat yang belum pernah terbayangkan sebelumnya. Menurut Charles R. Morris dalam bukunya The Tycoons: How Andrew Carnegie, John D. Rockefeller, Jay Gould, and J.P. Morgan Invented the American Business Empire (2005), Ford tidak hanya mengubah cara kita memproduksi mobil, tetapi juga cara kita berpikir tentang produksi dan tenaga kerja.
Dari Revolusi ke Digitalisasi
Namun, apa yang kita sebut sebagai "Industri 3.0" adalah era di mana komputer dan teknologi informasi mulai mengubah industri secara global. Pada 1960-an, komputer pertama kali diperkenalkan ke dunia industri. Dengan adanya komputer, informasi mulai diproses secara otomatis, menggantikan sebagian besar tugas manual yang sebelumnya membutuhkan waktu lama dan tenaga kerja manusia yang besar. Pada era ini, proses produksi menjadi lebih cepat, lebih terukur, dan lebih efisien. Menurut Erik Brynjolfsson dan Andrew McAfee dalam The Second Machine Age: Work, Progress, and Prosperity in a Time of Brilliant Technologies (2014), komputerisasi ini memicu lonjakan produktivitas yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Perkembangan internet pada akhir abad ke-20 adalah momen krusial yang menandai lahirnya apa yang kita kenal dengan revolusi teknologi abad ke-21---Industri 4.0. Dalam industri 4.0, teknologi tidak hanya sebatas komputer dan otomatisasi, tetapi juga mencakup internet of things (IoT), kecerdasan buatan (AI), big data, dan sistem cyber-fisik yang bekerja saling terhubung. Semua elemen ini memungkinkan industri beroperasi secara lebih pintar dan lebih fleksibel.
Pada tahun 2011, istilah "Industri 4.0" pertama kali diperkenalkan di Jerman, sebagai bagian dari inisiatif pemerintah untuk mendorong adopsi teknologi pintar dalam proses manufaktur. Menurut Klaus Schwab dalam bukunya The Fourth Industrial Revolution (2016), revolusi ini lebih dari sekadar otomatisasi atau penggunaan teknologi canggih; ia adalah perubahan dalam cara manusia berinteraksi dengan teknologi. Tidak hanya industri yang mengadopsi teknologi baru, tetapi masyarakat luas mulai dibentuk oleh transformasi digital ini.
Dampak Industri 4.0: Mengubah Dunia Kerja dan Kehidupan
Industri 4.0 bukan hanya tentang robot atau kecerdasan buatan yang mengambil alih pekerjaan manusia, meskipun itu adalah salah satu aspek yang banyak dibicarakan. Revolusi ini juga membawa perubahan mendalam dalam cara kita bekerja. Misalnya, munculnya model bisnis baru seperti manufaktur aditif (3D printing), yang memungkinkan produksi barang secara personal dan sesuai pesanan, menggantikan sistem produksi massal yang ada sebelumnya. Dalam The Fourth Industrial Revolution, Schwab mencatat bahwa dengan teknologi ini, kita memasuki era "produksi yang lebih terdesentralisasi," di mana kekuatan pembuatan barang tidak lagi berada di tangan sedikit orang, tetapi dapat diakses oleh banyak individu.
Bukan hanya dalam manufaktur, dampak revolusi teknologi ini juga terasa dalam bidang kesehatan, pendidikan, dan bahkan dalam interaksi sosial. Big data, yang mengumpulkan informasi dalam jumlah besar dari berbagai sumber, memungkinkan dunia medis untuk lebih cepat dalam mendiagnosis penyakit, merancang pengobatan yang lebih personal, dan bahkan memprediksi epidemi. Menurut artikel dalam Lancet Digital Health (2020), kecerdasan buatan dan analisis data besar telah memungkinkan terobosan besar dalam pengobatan penyakit kronis dan pencegahan penyakit.