Islam memiliki sejarah yang panjang dan kaya di Tatar Sunda, yang mencakup wilayah Jawa Barat di Indonesia. Sejarah ini mencerminkan proses akulturasi budaya antara ajaran Islam dengan tradisi dan adat lokal Sunda. Sehingga Identitas "Islam teh Sunda, Sunda teh Islam" menjadi cerminan dari keberhasilan proses Islamisasi ini, yang hingga kini masih menjadi bagian penting dari kehidupan masyarakat di Tatar Sunda.
Menurut catatan sejarah lokal, orang Islam pertama yang datang ke Jawa Barat adalah Haji Purwa pada tahun 1250 Jawa atau 1337 Masehi. Haji Purwa, putera Kuda Lalean, memeluk Islam saat melakukan perjalanan dagang ke India dan diislamkan oleh seorang saudagar Arab yang ditemuinya di sana. Haji Purwa berusaha mengajak adiknya, yang berkuasa di kerajaan pedalaman Tatar Sunda, untuk masuk Islam, namun usahanya gagal. Akhirnya, Haji Purwa meninggalkan Galuh dan menetap di Cirebon Girang.
Selain Haji Purwa, tokoh Muslim yang tinggal di Tatar Sunda pada masa-masa awal adalah Syekh Quro. Dalam Carita Purwaka Caruban Nagari disebutkan bahwa Dukuh Pasambangan didatangi oleh guru-guru agama Islam, salah satunya dari Campa bernama Syekh Hasanuddin, putra Syekh Yusuf Sidik. Ia merupakan seorang ulama terkenal di Campa.
Syekh Hasanuddin mendirikan pondok di daerah Karawang. Menurut salah satu sumber, Syekh Hasanuddin mengutamakan pembacaan kitab suci Al-Qur'an atau "Qiro'at", sehingga ia kemudian dikenal dengan nama Syekh Quro.
Islamisasi di Tatar Pasundan erat kaitannya dengan peran para wali dan ulama pada abad ke-15 dan ke-16. Salah satu tokoh penting dalam penyebaran Islam di wilayah ini adalah Sunan Gunung Djati atau Syarif Hidayatullah.
Pada tahun 1479 Masehi, Syarif Hidayat diangkat menjadi Tumenggung di Cirebon dengan gelar Susuhunan Jati. Selain memimpin pemerintahan, ia juga mendapat mandat dari para wali untuk memimpin agama Islam di Cirebon, menjadikannya pusat penyebaran Islam di Tanah Sunda.
Pada tahun 1526 Masehi, Sunan Gunung Djati melakukan perjalanan ke seluruh Tanah Sunda untuk menyebarkan agama Islam. Karena kesibukan dalam dakwah, kedudukan beliau sebagai penguasa Cirebon diserahkan kepada putranya, Pangeran Pasarean.
Setelah Pangeran Pasarean meninggal pada tahun 1552, kekuasaan Cirebon dilanjutkan oleh Fadhilah Khan, yang menurut naskah Carita Purwaka Caruban Nagari adalah menantu Sunan Gunung Djati. Fadhilah Khan memerintah di Cirebon hingga tahun 1570.
Sunan Gunung Djati tidak hanya mendirikan Kerajaan Cirebon sebagai pusat penyebaran Islam tetapi juga menjadi jembatan antara Islam dan budaya lokal. Sunan Gunung Djati menggunakan pendekatan budaya dan tradisi lokal untuk menarik perhatian masyarakat Sunda.
Dengan mengadopsi elemen-elemen budaya Sunda, dalam dakwahnya, ia berhasil membuat Islam diterima secara luas di kalangan masyarakat. Proses akulturasi ini membuat ajaran Islam lebih mudah diterima tanpa harus menghilangkan identitas budaya setempat.
Islam masuk ke daerah Sumedang melalui jalur perkawinan. Pangeran Santri dikenal sebagai Bupati Sumedang pertama yang memeluk agama Islam. Dari pihak ibu, Pangeran Santri merupakan keturunan raja Pajajaran, sementara dari pihak ayah, ia adalah keturunan Sunan Gunung Jati.
Menurut cerita rakyat dan sumber-sumber lokal, penyebaran Islam di daerah Priangan Selatan, seperti Garut dan Tasikmalaya, sering kali dilakukan oleh ulama-ulama yang memiliki hubungan dengan Cirebon. Misalnya, tokoh Kian Santang, yang merupakan putra Prabu Siliwangi, dikenal sebagai salah satu penyebar Islam di daerah ini setelah memeluk Islam.
Daerah-daerah seperti Kuningan, Sindangkasih, Talaga, dan Luragung berhasil diislamkan oleh Sunan Gunung Djati dan para pengikutnya. Proses islamisasi ini sering kali melibatkan pendekatan damai, negosiasi, dan bahkan melalui pernikahan antara tokoh Muslim dan pemimpin lokal.
Peran Pesantren dalam Penyebaran Islam
Salah satu institusi penting dalam penyebaran Islam di Tatar Sunda adalah pesantren. Pesantren tidak hanya berfungsi sebagai lembaga pendidikan agama tetapi juga sebagai pusat kebudayaan. Penting untuk diketahui bahwa pesantren berperan dalam melestarikan budaya Sunda yang berbaur dengan nilai-nilai Islam.
Pada 1418 M, sekelompok pedagang dari Campa tiba di Singapura, termasuk Syekh Hasanudin bin Yusuf Sidik, seorang ulama. Setelah tinggal beberapa saat, ia pindah ke Karawang dan mendirikan lembaga pendidikan bernama Pesantren Quro.
Pada abad ke-16, Islam di beberapa wilayah Indonesia sudah mulai kuat. Hal ini ditunjukkan dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam seperti Kesultanan Cirebon, Banten, dan Demak sebagai pusat kekuasaan politik Islam. Meskipun tidak disebutkan adanya pesantren sebagai institusi di ketiga kesultanan tersebut, setidaknya terdapat masjid yang berfungsi sebagai pusat kegiatan pendidikan Islam dengan pola pendidikan mirip pesantren saat ini.
Kemudian pada 1420 M, seorang ulama bernama Syekh Datuk Kahfi juga datang dan menetap di Singapura, tepatnya di Kampung Pasambangan, dan mendirikan lembaga pendidikan bernama Pesantren Pasambangan. Syekh Datuk Kahfi menetap di sana hingga akhir hayatnya dan dimakamkan di Giri Amparan Jati.
Berdasarkan informasi ini, Pesantren Quro di Karawang dan Pesantren Pasambangan di Amparan Jati-Cirebon dapat dianggap sebagai dua pesantren tertua di Jawa Barat yang berdiri hanya dalam selang waktu dua tahun.
Para kyai atau Ajengan, memiliki pengaruh besar dalam komunitas dan sering kali menjadi pemimpin dalam berbagai aspek kehidupan sosial dan politik.
Pesantren di Tatar Sunda sering kali mengajarkan ilmu agama melalui metode yang disesuaikan dengan tradisi lokal. Misalnya, penggunaan bahasa Sunda dalam pengajaran kitab dan adaptasi kurikulum yang mencakup budaya lokal. Pesantren juga menjadi tempat penyebaran seni tradisional Sunda yang Islami, seperti kesenian musik.
Santri-santri yang dididik di pesantren kemudian kembali ke masyarakat dan mengajarkan nilai-nilai Islam yang sudah berbaur dengan budaya setempat.
Akulturasi Budaya Islam dan Sunda
Proses akulturasi antara Islam dan Sunda terlihat jelas dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Tradisi dan upacara adat yang ada di Tatar Sunda sering kali memiliki sentuhan Islami. Misalnya, upacara pernikahan, khitanan, dan upacara adat lainnya dilakukan dengan mengikuti ajaran Islam tetapi tetap mempertahankan elemen budaya Sunda.
Masyarakat Sunda mampu menjaga keseimbangan antara praktik keagamaan dan adat istiadat. Contohnya, dalam upacara pernikahan, adat Sunda yang kaya akan simbolisme dan ritual diintegrasikan dengan doa dan prosesi Islami. Hal ini menunjukkan bagaimana Islam dapat hidup berdampingan dengan budaya lokal tanpa harus menghapus identitas asli masyarakat Sunda.
Dalam sistem kekerabatan dan hukum waris. Meskipun masyarakat Sunda mengikuti hukum Islam dalam hal waris, mereka tetap mempertahankan beberapa tradisi lokal. Misalnya, dalam pembagian warisan, selain mengikuti aturan faraid, masyarakat juga mempertimbangkan adat kekeluargaan yang sudah turun temurun.
Dari segi aspek muamalah, masyarakat Sunda mengadopsi prinsip-prinsip Islam seperti kejujuran, keadilan, dan saling membantu dalam transaksi dan interaksi sehari-hari. Nilai-nilai ini memperkuat kohesi sosial dan membentuk karakter masyarakat yang religius namun tetap menghormati tradisi lokal.
Dengan adanya kesadaran akan pentingnya menjaga keseimbangan antara agama dan budaya, masyarakat Sunda dapat terus melestarikan tradisi mereka sambil tetap mengikuti ajaran Islam. Pendidikan, khususnya melalui pesantren, akan terus menjadi kunci dalam menjaga warisan budaya dan nilai-nilai Islami di bumi Pasundan.
Dari Cirebon hingga Priangan, warisan Islam terus hidup dan berkembang, menjadikan Tatar Sunda sebagai salah satu wilayah dengan budaya Islam yang unik dan beragam di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H