Mohon tunggu...
Naufal Tri Hutama
Naufal Tri Hutama Mohon Tunggu... Mahasiswa - Student in the History of Islamic Civilization program

Naufal Tri Hutama is a dedicated student in the History of Islamic Civilization program, currently in his seventh semester. He is passionate about exploring Islamic history and understanding the cultural and social structures that shaped it. His interests also include media and journalism (medpers), providing a unique perspective on historical events. Naufal is particularly focused on Sundanese culture for his portfolio in the Faculty of Adab and Humanities.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Ketidakadilan di Perbatasan, Jauh dari Negeri Sendiri

30 Juli 2024   10:00 Diperbarui: 31 Juli 2024   23:17 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Coba kita bayangkan bagaimana rasanya tinggal di perbatasan negara? Tempat di mana batas negara bukan sekadar garis di peta, tetapi juga pemisah antara kehidupan yang sejahtera dan yang serba kekurangan. Inilah yang dialami oleh masyarakat di perbatasan Indonesia, terutama di daerah Papua dan Nusa Tenggara Timur (NTT).

Ketika Indonesia merayakan hari ulang tahunnya, banyak masyarakat di perbatasan yang merasa tidak merasakan dampak dari kemerdekaan tersebut. Mereka seakan berada di pinggiran perhatian pemerintah, jauh dari pusat kebijakan dan pembangunan. Rasa nasionalisme mereka pun terkikis oleh kenyataan pahit kehidupan sehari-hari.

Tantangan Ekonomi dan Pendidikan, Perlu Adanya Tindakan Nyata

Bagi masyarakat perbatasan, kehidupan seringkali lebih terhubung dengan negara tetangga daripada dengan ibu kota negara mereka sendiri. Misalnya, di perbatasan Papua, masyarakat lebih akrab dengan warga Papua New Guinea.

Begitu juga dengan masyarakat NTT yang merasa lebih dekat dengan warga Timor Leste. Kedekatan ini bukan hanya secara geografis, tetapi juga dalam hal akses barang dan layanan yang lebih mudah didapat dari negara tetangga.

Kesenjangan yang mencolok ini memicu rasa iri dan ketidakpuasan. Bagaimana tidak, ketika mereka melihat tetangga mereka yang hidup lebih sejahtera dengan infrastruktur yang lebih baik, sementara mereka sendiri harus berjuang dengan fasilitas yang minim. Ini membuat mereka merasa kurang diperhatikan oleh pemerintah Indonesia.

Masyarakat perbatasan menghadapi berbagai tantangan dalam kehidupan sehari-hari. Akses ke pendidikan yang layak, layanan kesehatan yang memadai, serta kesempatan ekonomi yang adil masih menjadi mimpi yang sulit terwujud.

Sementara di kota-kota besar di Jawa, masyarakat bisa menikmati berbagai kemudahan, masyarakat perbatasan seringkali harus berjuang lebih keras untuk mendapatkan kebutuhan dasar mereka.

Ketidakadilan ini bukan hanya menyakitkan secara fisik, tetapi juga secara emosional. Rasa ketidakadilan dan diabaikan oleh negara mereka sendiri menciptakan jurang yang semakin lebar antara pusat dan pinggiran. Hal ini berpotensi menggerus rasa nasionalisme dan semangat kebangsaan mereka.

Kondisi ini seharusnya tidak dibiarkan begitu saja. Semua pihak, terutama pemerintah, perlu mengambil tindakan nyata untuk memperbaiki keadaan ini. Masyarakat perbatasan tidak meminta lebih dari apa yang seharusnya menjadi hak mereka sebagai warga negara Indonesia. Mereka hanya ingin merasakan keadilan dan perhatian yang sama seperti saudara-saudara mereka di bagian lain negeri ini.

Revitalisasi negara kesejahteraan yang diamanatkan oleh undang-undang dasar harus menjadi prioritas. Pemerintah harus turun tangan dan memimpin upaya penegakan keadilan bagi masyarakat perbatasan. Ini bukan hanya tentang memenuhi kebutuhan dasar, tetapi juga tentang membangun kembali kepercayaan dan rasa kebersamaan sebagai satu bangsa.

Mewujudkan Keadilan dan Kesejahteraan di Perbatasan

Memperbaiki kondisi masyarakat di perbatasan memerlukan pendekatan yang holistik dan berkesinambungan. Pemerintah tidak bisa hanya mengandalkan program jangka pendek atau bantuan sporadis. Dibutuhkan strategi yang terencana dan pelaksanaan yang konsisten untuk membawa perubahan yang nyata dan berkelanjutan.

Salah satu langkah pertama adalah meningkatkan infrastruktur dasar. Jalan yang layak, akses air bersih, dan fasilitas kesehatan adalah kebutuhan mendasar yang harus dipenuhi. 

Dengan infrastruktur yang memadai, masyarakat bisa lebih mudah mengakses berbagai layanan dan kesempatan ekonomi. Ini juga akan membantu mengurangi kesenjangan antara masyarakat perbatasan dan daerah lain di Indonesia.

Pendidikan adalah kunci untuk memberdayakan masyarakat perbatasan. Program pendidikan yang berkualitas harus dihadirkan, mulai dari pendidikan dasar hingga pelatihan kejuruan yang relevan dengan kebutuhan lokal. Guru-guru yang kompeten dan fasilitas belajar yang memadai akan membantu menciptakan generasi yang lebih siap menghadapi tantangan masa depan.

Selain pendidikan formal, pelatihan keterampilan juga penting. Program pelatihan yang fokus pada pemberdayaan ekonomi lokal, seperti pertanian berkelanjutan, kerajinan tangan, dan pariwisata, bisa membuka peluang baru bagi masyarakat. Dengan keterampilan yang tepat, masyarakat perbatasan bisa mandiri secara ekonomi dan tidak bergantung sepenuhnya pada bantuan luar.

Penguatan Identitas dan Pelibatan Masyarakat dalam Proses Pengambilan Keputusan

Tantangan terbesar di daerah perbatasan adalah lemahnya rasa nasionalisme. Untuk mengatasi hal ini, perlu ada upaya untuk memperkuat identitas kebangsaan. Kegiatan budaya dan sosial yang mengangkat nilai-nilai kebangsaan bisa membantu membangun kembali rasa kebersamaan dan kebanggaan sebagai warga negara Indonesia.

Pemerintah dan organisasi masyarakat sipil perlu bekerja sama dalam menyelenggarakan berbagai kegiatan yang mengajak masyarakat perbatasan untuk lebih mengenal dan mencintai tanah air mereka. Program-program seperti kemah budaya, festival seni, dan lomba-lomba yang mengangkat kekayaan budaya lokal dapat menjadi alat yang efektif untuk memperkuat rasa nasionalisme.

Masyarakat perbatasan harus dilibatkan secara aktif dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut kehidupan mereka. Pemerintah perlu mendengar suara mereka dan memahami kebutuhan serta aspirasi yang mereka miliki.

Melalui forum-forum dialog dan musyawarah, masyarakat perbatasan dapat menyampaikan pandangan mereka dan berkontribusi dalam merumuskan kebijakan yang lebih tepat sasaran.

Partisipasi aktif masyarakat juga akan meningkatkan rasa memiliki terhadap kebijakan yang diterapkan. Ketika masyarakat merasa terlibat dan dihargai, mereka akan lebih mendukung dan berkomitmen terhadap pelaksanaan program-program pembangunan.

Referensi

Wahyudi. (2019). Percikan Pemikiran Sosiologis untuk Rakyat Lebih Berdaulat. Jakarta: Bildung Nusantara

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun