Di era sekarang ini, banyak orang yang seringkali salah dalam menyerap informasi dari media, salah satunya media digital. Media digital kerap kali mempublikasikan suatu informasi tanpa didasari dari suatu fakta. Bahkan, media dapat memutar balikkan fakta dengan cara berita palsu atau hoaks.
      Dilansir dari UNESCO pada tahun 2012, tingkat melek huruf orang dewasa sebesar 65,5 persen sedangkan indeks minat baca sebesar 0,001 yang berarti setiap 1000 penduduk hanya satu yang membaca. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia tidak tertarik membaca disertai ketidakmampuan beberapa masyarakat untuk membaca. Sementara itu, inti utama melakukan literasi adalah membaca.
      Hal yang mendasari kegiatan literasi yakni pendidikan. Melalui pendidikan, literasi dapat diberlakukan dengan berbagai cara. Salah satunya dengan cara membuat program pada peserta didik untuk membaca. Dengan itu, diharapkan peserta didik dapat mengimplentasikan literasi pada kehidupan nyata yang akan berdampak pada meningkatnya pemahaman tentang suatu hal atau biasa disebut berpikir kritis. Sebagai contoh, dapat membedakan informasi yang benar atau salah, memecahkan masalah (problem solving), menyampaikan pendapat dengan jelas, dan masih banyak lagi.
      Akan tetapi, jangan jadikan program itu hanya sebatas pemenuhan birokrasi di lembaga pendidikan. Banyak ditemukan pada tingkat lembaga pendidikan bawah yakni sekolah, hanya melakukan pembelajaran dengan mengejar tenggat waktu pemenuhan kurikulum tanpa memperhatikan kualitas pembelajaran. Jadikan program tersebut menjadi inti pokok dari kegiatan belajar mengajar dengan cara memberi pembelajaran yang mengasah pola pikir para peserta didik. Sebagai contoh, peserta didik dapat diberi tugas tanggapan mengenai peristiwa yang sedang terjadi, mengimplementasikan teori yang ada dikelas, serta membuat diskusi terbuka di dalam kelas.   Â
      Infrastruktur, kesejahteraan dan kualitas guru juga sangat penting dalam meningkatkan mutu pendidikan untuk peserta didik. Minimnya pemerataan aspek -- aspek tersebut sangat berpengaruh pada kondisi kegiatan belajar mengajar dikelas. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik pada tahun 2019 yang memaparkan tentang guru yang telah mengikuti pelatihan teknologi dan komunikasi (TIK), hanya 2,6 persen guru swasta yang mendapatkan pendidikan TIK, sedangkan guru negeri lebih kecil yakni 1,6 persen.
      Untuk aspek kesejahteraan para guru, Ketua PB PGRI, Didi Suprijadi menerangkan, besaran gaji yang diterima antara guru yang berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan guru honorer sangat jauh berbeda. Untuk gaji seorang guru PNS di kawasan DKI Jakarta bisa sampai sebesar Rp 15 juta per bulan, Rp 5 juta gaji pokok untuk golongan 4 serta ditambah dengan dana sertifikasi sebesar satu kali gaji dan tunjangan kinerja daerah (TKD) rata-rata Rp 7 juta. Sedangkan, nasib guru honorer yang jumlahnya lebih banyak dari pada PNS mendapatkan gaji rata-rata Rp 500 ribu per bulan, khususnya di daerah.
      Dari segi infrastruktur, menurut Direktur Pendidikan Profesi, Pembinaan Guru dan Tenaga Kependidikan Kemendikbud, Praptono menerangkan, berdasarkan Data Pokok Pendidikan (Dapodik) menyatakan 12 ribu sekolah belum memiliki akses internet di daerah terluar, tertinggal, dan terdepan (3T) serta 48 ribu satuan pendidikan memiliki masalah jaringan yang tidak baik di mayoritas daerah 3T. Berdasarkan data dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengungkapkan terdapat 8.522 sekolah di seluruh Indonesia belum memiliki internet dan terdapat 42.156 sekolah belum mendapatkan akses internet.       Pemenuhan aspek-aspek tersebut sangatlah penting untuk memajukan taraf pendidikan di Indonesia. Ketiadaan hal itu berimbas juga pada pemenuhan kebutuhan literasi para peserta didik. Menurut sebuah studi yang diadakan oleh PISA pada tahun 2009, tingkat membaca siswa Indonesia menduduki urutan ke-57 dari 65 negara. Sedangkan pada tahun 2012 peringkat Indonesia menurun ke-64 dari 65 negara dengan skor 396 dari skor rata-rata 496. Kondisi ini menunjukan betapa rendahnya minat baca dikalangan pelajar.
      Rendahnya minat baca di kalangan pelajar disebabkan pula karena minimnya waktu untuk melakukan kegiatan membaca. Alokasi waktu peserta didik dihabiskan sebagian besar untuk memenuhi kebutuhan akademik tanpa mempertimbangkan sisi minat yang dapat dilakukan oleh peserta didik. Diberlakukannya kegiatan akademik yang memakan waktu 8 hingga 9 jam sehari dapat menguras energi siswa untuk melakukan kegiatan minat seperti membaca. Hal inilah yang sepatutnya menjadi perhatian utama bagi pemerintah untuk menerapkan sistem kurikulum yang ramah untuk meningkatkan potensi minat di kalangan peserta didik.
      Tidak dipungkiri minat baca di Indonesia masih tergolong rendah. Rendahnya minat baca akan berdampak pada literasi. Literasi dibutuhkan untuk menangkal informasi-informasi palsu atau berita hoaks. Bersamaan dengan itu, literasi dibutuhkan pula untuk memecahkan masalah yang terjadi di sekitar. Perbaikan kondisi literasi di Indonesia dapat dilakukan melalui sektor pendidikan. Dengan pemenuhan sumber daya yang menunjang, pendidikan tidak hanya dapat mendongkrak kondisi literasi di Indonesia bahkan dapat menciptakan teori-teori baru hingga melahirkan tokoh-tokoh bangsa yang berpengaruh di masa depan.
Sumber :
Balai Pemasyarakatan Kelas I Semarang. (2020). Kabapas Semarang Bangkitkan Budaya Literasi di Kalangan Pegawai. Diakses pada 7 Juli 2021, dari http://bapassemarang.kemenkumham.go.id/profil/profil-pejabat?view=article&id=419#:~:text=Data%20statistik%20UNESCO%202012%20yang,Malaysia%20sudah%2086%2C4%20persen.
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada. (2020). Pandemi Memperjelas Keterbatasan Infrastruktur Pendidikan di Indonesia. Diakses pada 6 Juli 2021, dari https://fisipol.ugm.ac.id/pandemi-memperjelas-keterbatasan-infrastruktur-pendidikan-di-indonesia/
Septian Deny. (2018). Miris, Begini Perbandingan Gaji Guru PNS dan Honorer. Diakses pada 6 Juli 2021, dari https://www.liputan6.com/bisnis/read/3735268/miris-begini-perbandingan-gaji-guru-pns-dan-honorer
Zunita Putri. (2020). Kemendikbud: 8.522 Sekolah Belum Berlistrik, 42.159 Tak Ada Akses Internet. Diakses pada 7 Juli 2021, dari https://news.detik.com/berita/d-5108489/kemendikbud-8522-sekolah-belum-berlistrik-42159-tak-ada-akses-internet
CNN Indonesia. (2020). Kemendikbud: 12 Ribu Sekolah Tak Punya Akses Internet. Diakses pada 7 Juli 2021, dari https://www.cnnindonesia.com/nasional/20201022123707-20-561482/kemendikbud-12-ribu-sekolah-tak-punya-akses-internet
Ashar Hidayah. (2017). Jurnal Penelitian dan Penalaran. Pengembangan Model TIL (The Information Literacy) Tipe The BIG6 dalam Proses Pembelajaran Sebagai Upaya Menumbuhkan Budaya Literasi di Sekolah, 4(1), 624.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H