Mohon tunggu...
Humaniora Artikel Utama

Dioscuri dan Overdosis Ruang Publik di Bandung

3 Mei 2016   19:53 Diperbarui: 4 Mei 2016   12:25 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dosis yang terlalu banyak tadi membuat warganya berhalusinasi, membutakan mata warga kota Bandung dengan kebijakan-kebijakan yang harusnya lebih mengakomodasi kebutuhan dasar warga kota. Tentunya bukan warga kota secara individu ataupun kelas tertentu, tapi warga kota secara keseluruhan, terutama mereka yang aksesnya kurang dan terbatas secara sumber daya. Ada mereka yang terlena berpiknik, merasa puas, dan ada mereka yang tersiksa menyambung hidup, merasa putus asa.

Dampak-dampak negatif tersebut merupakan sebuah hal-hal diluar rasionalitas untuk mengatur kota. Maksudnya, jika perencanaan adalah juga untuk mengantisipasi dampak-dampak merugikan yang bisa terjadi, maka rasionalitas dalam perencanaan dan mengatur kota adalah sebuah kegagalan.

Bukan Hanya Taman
Walter Benjamin menyampaikan pandangan negatif dan kritiknya terhadap Parisian Arcade setelah sebelumnya memuja-muji hal tersebut. Ia sadar bahwa keberadaan ruang publik seperti arcade diperlukan dalam hal menghilangkan individualitas warga kota, bahwa setidaknya perlu adanya kontak sosial antar warga kota. Tapi di satu sisi, ruang tersebut juga menciptakan dampak-dampak yang beberapa di antaranya tidak bisa dilihat secara kasat mata. Apa sebenarnya hubungan ruang publik dan Dioscuri ini?

Mungkin perlu studi lebih lanjut, ataupun penafsiran kita masing-masing tentang apa makna Pollux dan apa makna Castor (atau lebih tepatnya 'yang mana' bukan 'apa'). Tapi inti dari Dioscuri yang coba diasosikan Benjamin dengan ruang publik (arcade) adalah bahwa keberadaan ruang ini seharusnya memberikan sebuah keseimbangan, kota dan warganya sebagai sesuatu yang harus teratur dan rasional, serta mereka sebagai sesuatu yang tidak harus diatur dan irasional. 

Dan tentunya ruang publik bukan hanya determinan atas keseimbangan yang harus dicapai. Ruang publik adalah tempat di mana seharusnya terjadi keselarasan untuk menciptakan kota yang inklusif, menunjukkan bahwa kontak manusia merupakan hal-hal yang bisa menjadi awal irasionalitas-untuk-membangun-rasionalitas-tandingan. 

tribun-lagi-57298764b47a615708a77f30.jpg
tribun-lagi-57298764b47a615708a77f30.jpg
Sumber: tribunnews.com

Mungkin dalam tataran yang lebih teknis hal ini akan sulit untuk dilakukan, perlu adanya penyadaran lebih mendalam terhadap warga kota atas kebijakan yang diambil dengan dasar rasionalitas (oleh pemegang kuasa atas kota) dan juga atas kebutuhan dasar akan kota itu sendiri, yang beberapa di antaranya tidak bisa ditakar dengan rasionalitas belaka. Lagi-lagi, permasalahannya bukan pada keberadaan ruang publik saja, tapi bagaimana kita — warga kota — memaknai kota kita secara keseluruhan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun