Islam, kita akan menemukan salah satu tokoh berkebangsaan Mesir yang banyak memberikan kontribusi bagi pemikiran dan peradaban Islam. Dia adalah Hassan Hanafi. Hassan Hanafi merupakan salah satu tokoh berkebangsaan Mesir yang banyak menyumbangkan pemikirannya pada dunia Keislaman khususnya pada era kontemporer.
Berbicara mengenai tokoh pembaharu dalamHassan Hanafi dilahirkan di Kairo, Mesir pada 13 Februari 1935 di perkampungan Al-Azhar, Mesir. Perjalanan intelektualnya dimulai sejak dia masuk kuliah pada bidang filsafat di Universitas Kairo, Mesir. Dengan pendalaman filsafatnya, ia menghasilkan pemikiran-pemikiran besar yang berangkat dari kegelisahannya, yaitu mengapa umat Islam selalu dapat dikalahkan dan konflik internal terus terjadi.
Disamping itu, Hanafi juga merasa resah terhadap banyaknya kaum miskin dan tertindas, serta Barat dengan budayanya banyak mempengaruhi para umat Islam (westernisasi). Dari beberapa keresahan itulah yang pada akhirnya menjadi fokus utama dan arah pemikiran Hassan Hanafi. Itulah yang sekiranya ingin dijawab oleh Hassan Hanafi.
Oleh karena fokus pertamanya adalah mengentaskan masalah keterbelakangan umat, Hassan Hanafi mencoba menggunakan disiplin ilmu teologi dalam Islam untuk kemudian digunakannya dalam menciptakan agenda besarnya. Hassan Hanafi mulai membuat kritik terhadap corak teologi klasik dalam Islam. Menurutnya, teologi Islam klasik terlalu banyak berbicara spekulatif mengenai ranah ketuhanan saja, sementara kondisi sosio-politiknya masih berantakan.
Menurutnya, paradigma teologi harus dilakukan pergeseran dari yang awalnya bercorak teosentris dengan pembahasan ketuhanan saja, menjadi corak yang antroposentris dengan obyek pembahasannya adalah persoalan dalam lingkup sosial politik. Paradigma teologi cemacam itulah yang kemudian diistilahkan sebagai 'teologi pembebasan' atau 'Islam Progresif'.
Bagi Hassan Hanafi, menggeser paradigma teologi  adalah sama halnya dengan upaya menegakkan kalimat tauhid. Kalimat tauhid tersebut setidaknya dapat diaplikasikan dengan upaya membebaskan para kaum yang tertindas dan banyak dieksploitasi oleh manusia yang lainnya. Bagi Hassan Hanafi, selain umat Islam harus mempercayai takdir dari Allah, umat Islam juga bebas dalam menentukan takdirnya sendiri.
Untuk mengimplementasikan pemikiran teologinya, Hassan Hanafi menciptakan suatu proyek yang diistilahkan dengan turath wa tajdid (tradisi dan pembaharuan). Dalam turath wa tajdid terdapat tiga proyek yaitu revitalisasi tradisi Islam (Ihya al-Turats al-Qadim), menjawab peradaban Barat (Tahadda al-Hadarah al-Gharbiyyah), mencari unsur revolusioner dalam agama (min al-Din ila al-Tssaurah)
Pertama, revitalisasi tradisi yang dimaksudkan untuk menggali unsur rasional yang relevan dan dapat mendukung paham kebebasan manusia. Dengan demikian, kiri Islam merupakan agenda yang berupaya untuk mengenalkan dan menghidupkan kembali khazanah dan corak pemikiran Mu'tazilah untuk membangun sifat rasional kepada umat Islam dalam paham kebebasan.
Kedua, sikap kita terhadap Barat yang dimaksudkan untuk tidak terjebak dalam westernisasi yang dapat membuat umat Islam semakin mudah dikalahkan. Hassan Hanafi memberi gagasan tentang proyek keduanya dalam Muqaddimah fi 'Ilm al-Istighrab atau yang seringkali disebut dengan istilah Oksidentalisme (Occident).
Oksidentalisme sendiri adalah upaya sarjana dari Timur untuk mengkaji tentang Barat dengan kritis dan objektif. Oksidentalisme dimunculkan Hassan Hanafi sebagai respon atas kajian Orientalisme yang dilakukan sebelumnya secara tidak objektif karena Barat mengkaji Timur dengan kacamata superioritas atas peradaban mereka. Kajian terhadap Timur yang dilakukan oleh para Orientalis hanya semata-mata digunakan untuk mencari kelemahan umat Islam agar mudah dihancurkan.
Pembahasan dalam Oksidentalisme Hassan Hanafi adalah dengan melakukan sebuah analisis terhadap kesadaran Eropa yang dibaginya menjadi tiga tahapan yang saling berhubungan. Tahap tersebut adalah pembentukan kesadaran Eropa (taakwin), struktur kesadaran Eropa (albunyan), dan akhir kesadaran Eropa (masyir).
Ketiga, sikap kita terhadap realitas dengan mulai meninggalkan metode klasik yang bersifat tekstual-normatif. Hassan Hanafi beranggapan bahwa terdapat kekeliruan atas model penafsiran ayat-ayat Al-Qur'an dari para tekstualis yang menganggap teks sebagai parameter analisis. Dengan demikian, seolah-olah teks adalah segala-galanya, bahkan teks merupakan standar pembentuk realitas, sehingga realitas selalu dilihat dari teks.
Bagi Hassan Hanafi, hal tesebut merupakan suatu kekeliruan karena pada dasarnya realitas-lah yang semestinya menjadi standar. Alasannya adalah karena teks sendiri tidak akan dilahirkan tanpa adanya realitas sebagai penyebabnya. Jadi menrutnya, bukan wahyu yang menyebabkan dilahirkannya beragam realitas, namun dominasi realitas atas wahyu (teks), karena realitas akan selalu menjadi standar teks yang mana tanpa adanya standar tersebut, teks akan menjadi hampa tanpa makna.
Dengan demikian Hassan Hanafi menciptakan sebuah metode penafsiran yang seringkali disebut dengan hermeneutika transformatif atau emansipatoris. Hassan Hanafi memberikan tiga tahap berurutan untuk melakukan penafsiran pada Al-Qur'an. Tiga tahap tersebut adalah kritik historis, kritik eidetis, dan kritik praktis. Menurut Hassan Hanafi, tafsir yang demikkian akan selalu berakhir dengan praksisnya.
Saat perjalananya yang semakin bertambah usia, dia harus menghentikan nafas dan perjalanannya di dunia ini pada usia 86 tahun. Hassan Hanafi wafat pada dua tahun silam, tepatnya pada 21 Oktober 2021 dan dimakamkan pada keesokan harinya di Mesir. Jasa-jasa pemikiran Islam corak progresif Hassan Hanafi menjadi bukti yang nyata, bahwa dia pernah hidup dan berupaya menghidupkan kembali Islam yang dirasanya redup dalam mengatasi permasalahan dunia sosio-politik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H