Ketiga, sikap kita terhadap realitas dengan mulai meninggalkan metode klasik yang bersifat tekstual-normatif. Hassan Hanafi beranggapan bahwa terdapat kekeliruan atas model penafsiran ayat-ayat Al-Qur'an dari para tekstualis yang menganggap teks sebagai parameter analisis. Dengan demikian, seolah-olah teks adalah segala-galanya, bahkan teks merupakan standar pembentuk realitas, sehingga realitas selalu dilihat dari teks.
Bagi Hassan Hanafi, hal tesebut merupakan suatu kekeliruan karena pada dasarnya realitas-lah yang semestinya menjadi standar. Alasannya adalah karena teks sendiri tidak akan dilahirkan tanpa adanya realitas sebagai penyebabnya. Jadi menrutnya, bukan wahyu yang menyebabkan dilahirkannya beragam realitas, namun dominasi realitas atas wahyu (teks), karena realitas akan selalu menjadi standar teks yang mana tanpa adanya standar tersebut, teks akan menjadi hampa tanpa makna.
Dengan demikian Hassan Hanafi menciptakan sebuah metode penafsiran yang seringkali disebut dengan hermeneutika transformatif atau emansipatoris. Hassan Hanafi memberikan tiga tahap berurutan untuk melakukan penafsiran pada Al-Qur'an. Tiga tahap tersebut adalah kritik historis, kritik eidetis, dan kritik praktis. Menurut Hassan Hanafi, tafsir yang demikkian akan selalu berakhir dengan praksisnya.
Saat perjalananya yang semakin bertambah usia, dia harus menghentikan nafas dan perjalanannya di dunia ini pada usia 86 tahun. Hassan Hanafi wafat pada dua tahun silam, tepatnya pada 21 Oktober 2021 dan dimakamkan pada keesokan harinya di Mesir. Jasa-jasa pemikiran Islam corak progresif Hassan Hanafi menjadi bukti yang nyata, bahwa dia pernah hidup dan berupaya menghidupkan kembali Islam yang dirasanya redup dalam mengatasi permasalahan dunia sosio-politik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H