Mohon tunggu...
Naufal Pambudi
Naufal Pambudi Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Mr.

Koordinator Ikatan Masyarakat Muda Madani (IMAM)

Selanjutnya

Tutup

Politik

"Weimar Alert" untuk Kaum Nyinyir

16 Oktober 2019   16:16 Diperbarui: 16 Oktober 2019   16:36 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto: museums.nuernberg

09 November mendatang adalah tepat 101 tahun pasca lahirnya Republik Weimar, yang menandai awal demokrasi modern di Jerman. Konstitusi Weimar sangatlah demokratis. 

Seni dan budaya Jerman juga berkembang pesat; media bebas beropini dan mengkritik pemerintah; warga bebas berpolitik. Tak ada yang meragukan Republik Weimar sebagai rezim yang sangat demokratis. 

Sayangnya, eksperimen demokrasi itu berakhir tragis, seiring lahirnya the Fuhrer. Dengan Partai Nazi, Hittler melakukan genosida membabi buta. 

Dengan ideologi fasisnya, Hitler juga menyatakan bangsa Jerman sebagai Ras Arya yang unggul, dan berhak menaklukkan bangsa-bangsa lain di dunia. Perang Dunia II pun pecah, menghasilkan kerusakan di seluruh dunia. 

Pengalaman Republik Weimar ini menjadi pembelajaran penting bagi seluruh negara demokrasi, termasuk Indonesia saat ini.

1) Demokrasi Bukan Wacana, tapi Pertarungan

Para pendukung Republik Weimar mengira bahwa kebebasan dengan sendirinya akan mengokohkan demokrasi di Jerman. Dugaan itu salah, karena iklim kebebasan itu juga melahirkan Hittler yang gemar kampanye kebencian. Dan tragisnya, kampanye kebencian itu mendapat dukungan publik. Orasi Hittler yang berapi-api berhasil membius publik Jerman yang waktu itu baru belajar demokrasi. 

Akhirnya, pada Pemilu 1932 Hittler meraih 36.8 persen suara, peringkat dua di bawah Hindenburg yang memenangkan kursi presiden Jerman di bawah Republik Weimar. 

Namun tak lama kemudian, Hindenburg meninggal, dan Hittler pun mengambil alih kursi Presiden sekaligus merangkap kanselir. Selanjutnya bisa ditebak, pemerintahan teror pun melanda Jerman dan menjalar ke seluruh dunia, di bawah bayang-bayang Nazi dan Hittler.

2. Musuh Demokrasi Terorganisir

Pengalaman Hittler membajak Republik Weimar di atas menunjukkan bahwa demokrasi bukanlah kebebasan semata, tapi juga pertarungan melawan musuh demokrasi. Di bawah Republik Weimar ini, Hitler sebagai musuh demokrasi melakukan aksi politik dengan sangat rapi dan terorganisir. 

Terbukti, dia mampu memanfaatkan demokrasi untuk membunuh demokrasi itu sendiri. Ketika pendukung Republik Weimar mabuk kebebasan, justru saat itulah Hitler menusuk dan merenggut kebebasan itu dari warga Jerman. 

Untunglah aliansi fasis (Jerman, Jepang, Italia) kalah di perang dunia II. Tak terbayang andai Hitler menang, mungkin seluruh orang yang bukan Ras Arya akan dibantai.

3. Intoleransi, Musuh Demokrasi di Indonesia

Dari pengalaman Republik Weimar, kita bisa melihat kondisi Indonesia hari ini. Demokratisasi seiring reformasi 1998 juga tak hanya melahirkan kebebasan, tapi ideologi sektarian pun berkembang biak. 

Jokowi menyadari itu, sehingga menempuh langkah tegas terhadap kelompok intoleran, termasuk membubarkan HTI sebagai organ radikal. 

Di sini kita bisa membayangkan kembali Republik Weimar. Andai Partai Nazi dulu dibubarkan, mungkin genosida dan perang dunia II tak ada dalam sejarah. 

Persoalannya sekarang, bagaimana kita menyikapi kebijakan Jokowi? Sikap-sikap publik belakangan ini, tampaknya agak mengkhawatirkan. Ketika demonstrasi anarkhis, tak sedikit yang justru menyalahkan aparat dan pemerintah. Bahkan, ketika Wiranto menjadi korban penusukan, banyak yang menuding itu rekayasa. Para pengkritik pun terus menyalahkan aparat dan pemerintah, atas nama demokrasi dan kebebasan berpendapat.

Untuk para pengkritik ini, saya hanya ingin mengingatkan, "Weimar Alert." Karena demokrasi bukan semata kebebasan, tapi juga pertarungan untuk merawat kebebasan. Dan penting untuk digarisbawahi, bahwa musuh demokrasi di Indonesia adalah radikalisme dan intoleransi. 

Jadi silakan kritik pemerintah, itu sah dalam demokrasi. Tapi pertimbangkan, siapa yang diuntungkan oleh kritik itu? Kalau kritik itu justru menguntungkan kelompok radikal, sebenarnya kalian sendiri yang tengah membunuh demokrasi. Seperti Republik Weimar memberi angin pada kekuasaan Hittler.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun