Banyak yang lega ketika Pemilu 2019 selesai dengan damai, dan semua orang berharap kembali hidup normal, tanpa terusik kebisingan Cebong-Kampret. Benar Pemilu telah usai, tapi mungkin tak banyak yang tahu bahwa pertarungan politik tak berhenti. Justru masa menjelang pembentukan kabinet baru adalah fase krusial. Jika semasa Pemilu ada koalisi kawan dan koalisi lawan, saat ini keduanya sudah bubar. Masing-masing jalan sendiri, sama-sama ingin memaksa presiden mengakomodir kepentingannya 5 tahun mendatang. Semua saling memaksa, menjegal dan saling menunggangi demi kepentingan masing-masing.
Semua tahu, biaya politik mahal. Maka, kepentingan para politisi itu pun berkelindan dengan orang-orang berduit yang ingin melemahkan kepemimpinan dan pemerintahan Jokowi. Jangan heran kalau sampai 20 Oktober nanti akan terus ada kebisingan. Bahkan mungkin, ketika kabinet sudah terbentuk pun tetap ada aksi-aksi dari mereka yang merasa kepentingannya tak diakomodir. Dan sebenarnya, semua kericuhan hingga hari ini bukanlah kebetulan. Berikut adalah gambaran ringkas skenario para elit yang bermaksud melemahkan pemerintahan Jokowi.
1. Memanaskan Papua
Satu hal yang perlu dicatat, bahwa seorang presiden tak hanya mengurus persoalan dalam negeri, tapi juga menghadapi para pesaing di dunia internasional. Lima tahun ini, negara-negara dunia merasakan sulitnya mengintervensi kebijakan Indonesia. Maka, transisi menuju periode kedua ini dianggap peluang untuk mengganggu pemerintahan Jokowi. Tentu saja, mereka berharap pada periode kedua nanti, Jokowi tak lagi bersikap keras terhadap pihak-pihak internasional yang selama ini berusaha mengintervesi kedaulatan Indonesia. Untuk tujuan itu, mereka turut memanasi situasi Papua dan berusaha menekan Indonesia di PBB.
2. Menyandera Proses Legislasi
Di tengah panasnya situasi Papua, tekanan lain justru datang dari parlemen yang mengancam pesiden untuk menyetujui berbagai Rancangan Undang-undang yang dikehendaki DPR. Kalau Presiden menolak, mereka akan mengganjal seluruh kebijakan Jokowi, termasuk menyandera APBN, sehingga KIP, BPJS, KIS, semua tidak bisa jalan. Draf pertama yang disodorkan yaitu RUU KPK yang disikapi Jokowi dengan mengambil jalan tengah. Usulan revisi diterima, tapi poin-poin pelemahan yang disodorkan DPR ditolak. Toh, publik tak mau tau itu, dan tetap menuduh presiden melemahkan KPK.
Maka, ketika Jokowi meminta penundaan Revisi UU KUHP pun, banyak yang merasa itu tak cukup, dan mendesak pemerintah menghentikan pembahasan RUU KUHP. Padahal, RUU ini sudah lama menjadi bahasan satu rezim ke rezim lain. Semua sependapat, RUU KUHP kita warisan kolonial, sehingga perlu diubah. Meskipun begitu, perubahan itu tak bisa asal beda dan mengakomodir pasal-pasal bermasalah. Karena itulah, Jokowi meminta penundaan revisi tersebut.
3. Membakar Hutan
Di luar proses kebijakan, tekanan terhadap Jokowi juga dilakukan dengan sangat brutal dan tak berperikemanusiaan. Dalam keterangan persnya, Jokowi sendiri menyebut kebakaran hutan kali ini memiliki unsur kesengajaan. Dan memang, Menteri LHK pun telah menyegel 5 perusahaan asing yang sengaja membakar hutan. Setelah kebakaran besar 2015 lalu, 3 tahun berturut-turut pemerintah berhasil mengantisipasi kebakaran hutan, dan baru tahun ini kembali terjadi, di tengah transisi menuju periode kedua pemerintahannya. Dan ternyata, pelakunya adalah perusahan-perusahaan asing. Apaka ini kebetulan?
4. Pengerahan Massa
Berbagai rangkaian kejadian di atas setidaknya cukup menjadi umpan lezat untuk membentuk opini negatif bahwa Jokowi melemahkan KPK, gagal menangani kebakaran hutan, dll. Stigma-stigma itulah yang ditangkap dan diolah oleh para elit yang bermaksud melemahkan pemerintahan Jokowi. Sebelum aksi 23 September ini, bahkan banyak informasi menyebut aksi massa akan terus dilakukan sampai 20 Oktober, dengan target membatalkan pelantikan Jokowi. Untunglah, tampaknya berbagai pihak cukup solid, sehingga aksi bisa berakhir dengan tertib dan damai.