Sebagai rakyat Indonesia, wajar kita marah melihat pelecehan terhadap bendera merah putih. Meskipun begitu, warga negara yang bijak akan berpikir untuk menyalurkan kemarahan itu untuk mencari solusi, memperbaiki kehidupan berbangsa yang lebih baik.Â
Sebaliknya, kita juga perlu mempertanyakan aksi reaksioner yang dilakukan orang atau kelompok yang mengatasnamakan nasionalisme. Kita banyak melihat orang mengatasnamakan agama demi kepentingan politik semata.Â
Dalam kerangka ini, bisa juga orang mengatasnamakan nasionalisme demi kepentingan lain. Hal itu bisa kita lihat dalam kasus pengepungan asrama mahasiswa Papua di Surabaya.
1) Tri Susanti, Unjuk Gigi Caleg Gagal
Seperti diketahui, koordinator lapangan yang memimpin pengepungan asrama mahasiswa Papua di Surabaya adalah Tri Susanti, Caleg nomor 08 dari Partai Gerindra untuk Dapil Kota Surabaya 3.Â
Dialah yang memasang bendera merah putih di asrama mahasiswa Papua. Dia juga yang menyebar berita bahwa tiang bendera merah putih dipatahkan, lalu dibuang ke selokan.Â
Terang saja, berita itu menyulut kemarahan massa. Dan Tri Susanti pun menggerakkan massa yang marah untuk mengepung asrama mahasiswa Papua.Â
Dalam kacamata politik, seseorang yang kalah kontestasi akan cari-cari momentum untuk menyelamatkan karir politiknya. Tri Susanti yang kalah Pileg 2019 tampaknya berusaha unjuk diri bahwa dirinya masih punya power, dan mampu memobilisasi massa dalam pengepungan asrama Papua tersebut. (sumber)
2) FPI Cari Panggung Baru Pasca Pemilu
Kacamata politik juga menyebut bahwa setiap kerumunan selalu ada penumpang gelap. Pada kasus pengepungan asrama tersebut, media massa memotret jelas atribut-atribut Front Pembela Islam (FPI) yang dikenakan massa pengepung.Â
Pertanyaannya, kenapa FPI yang selama ini rajin aksi penegakan syariah, tiba-tiba berdalih membela merah putih? Kita semua tahu, FPI telah habis-habisan berusaha mengalahkan Jokowi pada Pilpres 2019 lalu.Â