Keberadaan dua jurusan pertanian di Bojonegoro ini tentu tidak sebanding dengan puluhan jurusan lain non-pertanian yang lebih mendominasi. Promosi secara besar-besaran justru di lakukan pada jurusan non-pertanian, seperti jurusan Migas yang disiapkan sebagai pegawai tambang pengeboran minyak di Kabupaten ini.
Potret ini yang menjadi dasar munculnya proses psikis yang disebut social comparation atau perbandingan sosial. Kondisi di mana seseorang dengan sosial-ekonomi rendah, ketidakpuasan, kondisi yang tidak diharapkan, dan perasaan inferior, melakukan perbandingan yang cenderung mengarah pada keinginan untuk lebih baik di masa depan.Â
Tentu non sektor pertanian yang cenderung lebih baik menjadi target perbandingan sosial disebut sebagai upward social comparison. Harapannya agar kehidupannya lebih baik dari sebelumnya.
Selain itu, beberapa hal menarik muncul di kalangan Masyarakat Bojonegoro. Perbandingan sosial dialami oleh anak petani ini ternyata juga didukung oleh adanya kebiasaan yang berkembang di Masyarakat, yaitu Tindak Tutur. Sebuah aktivitas menuturkan atau mengujarkan dengan maksud tertentu.Â
Orang tua sebagai petani menuturkan kepada anak para petani bahwa jangan sampai mereka menjadi petani seperti dirinya. Meskipun beberapa masyarakat tidak mengungkapkan secara langsung. Namun, tindak tutur ini dilakukan secara berulang menjadi sebuah nilai dan prinsip anak petani dalam hidupnya.Â
Nilai ini cukup menjadi fundamental aspek pendukung dalam perbandingan sosial yang dilakukan oleh anak petani. Praktik kebiasaan ini didasari pada prevalensi dan kekuatan norma sosial yang kuat di Masyarakat. Khususnya Masyarakat Pedesaan di Bojonegoro agar anak turunnya menjadi lebih baik dari dirinya.
Akhirnya, kita mengetahui bahwa perbandingan sosial telah membentuk kesadaran bahwa terdapat individu yang berada dalam kondisi lebih baik dan ada kondisi kurang baik. Kondisi kurang baik dialami oleh anak petani yang berada di sektor non-pertanian.
Di titik ini, kita tidak bisa menyudutkan anak petani karena tidak mau menjadi petani. Semua orang tua tentu berhak memiliki generasi yang baik untuk menjamin masa depan.Â
Namun, kondisi psikis anak petani yang mengalami inferioritas, kejenuhan, kehilangan harapan, dan kekecewaan sebagai dampak dari kompleksitas masalah di pertanian harus diselesaikan di ranah psikologi.Â
Akademisi & praktisi psikologi terus mendorong upaya intervensi kepada anak petani dengan mengedepankan pendekatan berpikir positif. Harapannya anak petani tidak ada lagi yang memiliki pemikiran negatif pada sektor pertanian meskipun realitas tidak bisa dipungkiri. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H