Mohon tunggu...
Naufal Mafazi
Naufal Mafazi Mohon Tunggu... Dosen - Suami, Babahnya Davin, dan Guru

Berusaha membuka jendela ilmu psikologi dengan prespektif berbeda

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Pemaknaan Kembali Dari Sebuah Bencana

16 Oktober 2018   21:12 Diperbarui: 16 Oktober 2018   22:20 397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Banjir di daerah Kabupaten Bojonegoro pada tanggal 26 Desember 2007 masih terbayang-bayang dalam ingatan warga masyarakat Bojonegoro. Menjelang akhir tahun warga Bojonegoro dilanda banjir yang berasal dari luapan air Bengawan Solo. 

Banjir kali ini merupakan banjir terbesar sepanjang sejarah Bojonegoro yang menenggelamkan kurang lebih 16 kecamatan diantaranya Kec. Kasiman, Purwosari, Dander, Kapas, Balen, Kanor, Margomulyo, Ngraho, Tambakrejo, Padangan, Kalitidu, Malo, Trucuk, Bojonegoro, Baureno, Sumberjo. 

Dapat diartikan bahwa separuh wilayah Bojonegoro terendam banjir. Bahkan warga di 8 desa Kota Bojonegoro tercatatberada dalam pengungsian sekitar 16.150, tersebar diberbagai pengungsian. Seperti posko-posko relawan, ruko, tanggul bengawan solo, dan rumah-rumah yang tidak terkena banjir.

Tidak hanya itu saja, banjir juga menelan korban nyawa sebanyak 4 orang akibat kesetrum listrik dan sakit. Banjir juga tidak pandang bulu. Pusat vital daerah Bojonegoro tidak luput dari terjangan banjir 3 meter tersebut. 

Sawah, ternak, masjid, kantor pemerintahan, stasiun, terminal. Bahkan sekolah berhenti sejak 29 Desember 2007. Begitupun para pekerja, mereka tidak ada pemasukan. Pengungsi atau korban banjir mengandalkan bantuan yang tersedia dari pemerintah, swasta maupun tetangga lainnya.

Di sisi lain, terdapat kisah inspiratif dalam bencana banjir yang melanda Kabupaten Bojonegoro. Penulis yang juga sebagai korban bencana banjir merasakan ada sisi lain yang terdapat dari peristiwa banjir besar ini. 

Penulis tinggal di daerah sekitar perumahan Kota Bojonegoro yang juga terendam banjir. Sebagian besar daerah perumahan mempunyai loteng atau rumah berlatai dua, jadi tidak terlalu repot-repot untuk mencari pengungsian. Akan tetapi masalah terus memburu di perumahan ini. perumahan yang sebagian besar adalah pekerja sibuk, tidak terlalu sering untuk memasak makanan sendiri. 

Tidak sempat untuk membeli persediaan makanan di rumah. Menjadi masalah di perumahan ini, karena sudah sewajarnya manusia hidup harus makan dan minum. Apa lagi saat banjir lampu dalam keadaan mati dan toko tidak ada yang berjualan.

Suatu saat perumahan yang dulunya dikenal sebagai perumahan kuburan, karena begitu sepi, apalagi ketika malam tiba. Sontak menjadi berbeda. Orang-orang di perumahan keluar untuk saling menanyakan kabar, bercanda, dan saling bertukar berkeluh kesah mengenai banjir yang dilanda. 

Kejadian ini menjadi kebalikan dari keadaan sebelumnya, ketika sebelum banjir, listrik masih menyala dan apapun tercukupi, orang-orang perumahan jarang sekali keluar dari rumah untuk bertegur sapa, bercanda, bertukar informasi, berbagi sesuatu yang mereka punya. Justru, ketika listrik mati dan makanan sulit di jumpai, masyarakat perumahan menjadi saling berinteraksi. Tak bisa dipungkiri ini menunjukkan sifat asli masyarakat Indonesia. Masyarakat kolektif yang saling bergantung satu sama lain.

Keluh kesah yang sama di perumahan ini seakan menjadi motivasi penggerak untuk membuat solusi bersama. Orang-orang perumahan yang sebagian besar tidak beranjak dari rumah karena bermukim di latai dua rumah, menginisiasi untuk membuat dapur umum. Mereka mengumpulkan makanan apa saja yang tersedia di rumah dan makanan bantuan dari siapapun. 

Tentu dengan sigap para ibu-ibu bersiap untuk memasak dan mengolah makanan yang tersedia. Sedangkan bapak-bapak bergotong royong untuk mengangkat barang-barang vital yang terendam banjir. 

Jika sudah matang, semua dipanggil dan makan bersama satu piring satu piring diberikan. Tampak seperti buruh pabrik ketika jam istirahat makan. Akan tetapi mereka tidak mempedulikan hal tersebut. Nasib yang sama, kebutuhan yang sama, tujuan yang sama, dan konflik antar tetangga tidak terlihat. Melebur menjadi satu yaitu korban banjir.

Tidak ada pertikaian, tidak ada ketidakadilan jatah makanan, tidak ada rasa gengsi, dan tidak ada individualistik saat itu. Perubahan telah terjadi. Penulis tidak mengklaim bahwa itu adalah filosofis dasar masyarakat Indonesia yang muncul. Ataupun karena bencana Banjir. 

Akan tetapi penulis merasakan hal yang berbeda, saling bercanda, saling menghargai, menerima apa adanya, saling membantu, dan bersatu. Hal ini lah yang penulis artikan damai, yaitu berada di dalam keadaan selaras, tenang dan tentram, tanpa perselisihan dan pertentangan, dan bersatu dalam maksud untuk saling membantu.

Penulis meyakini bahwa keadaan dapat menciptakan sebuah perdamaian baik itu keadaan baik atau buruk. Seperti saat banjir menjadi predikktor munculnya sebuah kedamaian. 

Sehingga perubahan diharapkan menjadi lebih baik dari sebelumnya. Maka dari itu penulis ingin menunjukkan bahwa tidak selamanya bencana banjir menjadi keterpurukan. Akan tetapi dapat juga menjadi sebuah jalan perubahan menjadi lebih baik. 

Sebuah perdamian dari bencana banjir. Oleh karena itu tulisan ini bisa menjadi refleksi semua msayarakat bahwa bencana tidak hanya menjadi kutukan. Akan tetapi bencana juga bisa menjadi berkah untuk berubah menjadi lebih baik dari sebelumnya. Bahkan kedamaian sekalipun.

Reference.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun