Ada beberapa versi mengenai Konflik Sampit yang terjadi, ada satu versi mengklaim bahwa ini disebabkan oleh serangan pembakaran sebuah rumah Dayak, dan beberapa rumor mengatakan bahwa kebakaran ini disebabkan oleh warga Madura dan kemudian sekelompok anggota dari suku Dayak mulai membakar rumah-rumah di permukiman Madura. Beberapa tokoh-tokoh suku Dayak mengklaim Tindakan-tindakan yang diambil tersebut merupakan bentuk mempertahankan diri setelah beberapa penyerangan terhadap orang-orang dari suku Dayak.
Versi lainnya mengatakan seorang warga Dayak disiksa dan dibunuh oleh sekelompok warga Madura setelah sengketa judi di desa Kerengpangi, Kabupaten Katingan pada 17 Desember 2000. Dan versi lain yang saya temukan bahwa kejadian ini berawal hanya dari hal sepele yaitu percekcokan antar murid dari berbagai ras yang bersekolah di tempat yang sama.
Dalam konflik ini, suku Dayak mempraktikkan sebuah ritual pertempuran yang ditujukkan kepada musuh, yakni praktek pemenggalan kepala (ngayau) yang ditargetkan kepada orang-orang dari suku Madura. Setidaknya 100 orang Madura yang kepalanya dipenggal selama konflik sampit ini sebagai bagian dari ritual ngayau. Salah satu yang cukup mengejutkan adalah, praktek ini sebelumnya dianggap sudah punah setelah adanya Perjanjian Tumpang Anoi. Namun setelah melihat ritual ini kembali digunakan selama konflik sampit, membuat beberapa orang percaya bahwa ritual ini belum sepenuhnya punah.
Pada tanggal 18 Februari, orang-orang suku Dayak yang marah sudah menguasai kota Sampit. Aparat bertindak dengan menangkap beberapa orang yang diduga sebagai inisiator dan preparator dibalik serangan yang dilakukan oleh suku Dayak. Tak lama kemudian, ribuan orang-orang Dayak mengepung kantor polisi dan menuntut untuk membebaskan orang-orang yang ditahan yang kemudian dikabulkan pada 28 Februari sekaligus membubarkan massa yang kemudian dibantu oleh beberapa elemen dari TNI yang diterjunkan kedalam konflik tersebut guna meredakan keadaan.
Konflik semakin mereda dengan adanya upaya peningkatan keamanan dan menangkap orang-orang yang diduga provokator. Berbagai serangkaian Tindakan juga dilakukan guna meredakan kota Sampit yang saat itu sedang penuh dengan warga Dayak yang penuh amarah salah satunya adalah mengevakuasi warga Madura yang masih berada di kota Sampit.
Upaya-upaya yang dikedepankan oleh pemerintah mayoritas bersifat mediasi serta damai agar tidak ada pihak yang merasa dirugikan serta akan membuat situasi lebih dingin dan tentram. Untuk kemudian benar-benar mendamaikan kedua belah pihak diadakanlah perjanjian damai serta pembangunan Tugu Perdamaian Sampit yang melambangkan perdamaian sekaligus peringatan atas tragedi tersebut.
Dari konflik ini tentu kita belajar bahwa betapa pentingnya kita untuk dapat menghormati serta menghargai kebudayaan yang berbeda apalagi jika kita berada di tanah orang. Konflik ini mengungkap pentingnya dialog antar-kelompok, pemerataan ekonomi, serta penguatan kebijakan pemerintah untuk mencegah diskriminasi dan ketimpangan sosial.
Melalui pembelajaran dari peristiwa ini, diharapkan tercipta perdamaian yang lebih kuat dan pemahaman mendalam antar-etnis di Indonesia.
Referensi
https://kumparan.com/berita-terkini/penyebab-konflik-sampit-dan-upaya-penyelesaiannya-22FEH9XfMU4. Diakses pada tanggal 21 Desember 2024
"MIGRATION AND CONFLICT IN INDONESIA" diakses pada tanggal 22 Desember 2024 dari https://web.archive.org/web/20120209225410/http://www.iussp.org/Bangkok2002/S15Pudjiastuti.pdf