Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy'ari, sebagai pendiri Nahdlatul Ulama (NU), telah mewariskan pemikiran yang mendalam terkait peran Islam dalam pembangunan bangsa. Pemikirannya tentang pendidikan, sosial, dan politik masih relevan dalam upaya mewujudkan Indonesia Maju. Namun, untuk memahami relevansi pemikiran beliau dalam konteks modern, kita perlu melakukan analisis kritis yang melihat tantangan serta potensi yang mungkin muncul dalam aktualisasinya.Â
Dinamika Tradisi dan Kemodernan
KH. Hasyim Asy'ari menekankan perlunya keseimbangan antara pemeliharaan tradisi Islam dan adaptasi terhadap kemajuan zaman. Prinsip ini penting, namun dalam konteks modern, kita perlu mempertimbangkan tantangan globalisasi dan digitalisasi yang semakin cepat. Meskipun pesantren telah menjadi pusat pendidikan yang kuat dalam membentuk karakter moral, pertanyaannya adalah bagaimana pesantren dapat beradaptasi dengan teknologi modern tanpa kehilangan identitas tradisionalnya?
Sebagai contoh, banyak pesantren tradisional yang masih menggunakan metode pengajaran klasik (kitab kuning) yang sering kali terbatas pada literasi agama tanpa fokus yang signifikan pada sains, teknologi, atau inovasi. Dalam visi Indonesia Maju, tantangan ini menjadi krusial, karena pendidikan yang berorientasi pada perkembangan zaman diperlukan untuk mendorong daya saing bangsa. Jika pesantren tidak bertransformasi, maka ada risiko keterasingan terhadap arus utama kemajuan teknologi dan ekonomi.
Kekuatan dan Keterbatasan Pesantren
Kontribusi pesantren dalam membentuk tokoh-tokoh penting bangsa, seperti dalam gerakan kemerdekaan Indonesia, adalah bukti empiris dari kekuatan sistem pendidikan berbasis moral dan agama yang diwariskan KH. Hasyim Asy'ari. Namun, kita juga harus kritis terhadap keterbatasan model ini di era modern. Laporan dari Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) menyatakan bahwa meskipun pesantren tetap relevan, banyak pesantren masih tertinggal dalam hal akses terhadap teknologi, sains, dan pendidikan umum.
Hal ini menciptakan kesenjangan antara lulusan pesantren dengan lulusan sekolah umum yang lebih terpapar pada kemajuan teknologi dan globalisasi. Sementara nilai moral dan spiritual yang diajarkan di pesantren tetap penting, pemikiran KH. Hasyim Asy'ari perlu diaktualisasikan dalam konteks pendidikan yang lebih holistik, mencakup ilmu agama dan pengetahuan umum yang luas agar lulusan pesantren dapat bersaing dalam dunia kerja yang semakin kompetitif.
Relevansi Pemikiran dalam Konteks Global
Secara rasional, pemikiran KH. Hasyim Asy'ari yang menekankan pentingnya Islam sebagai pilar pembangunan bangsa masih sangat relevan dalam konteks sosial Indonesia yang mayoritas Muslim. Namun, dalam upaya mencapai Indonesia Maju, perlu ada diskursus yang lebih terbuka dan inklusif terkait hubungan agama dan negara, terutama dalam menghadapi pluralitas masyarakat Indonesia yang beragam.
Misalnya, dalam konteks pembangunan ekonomi berbasis Islam yang dianjurkan oleh KH. Hasyim Asy'ari, seperti koperasi syariah, kita perlu menganalisis apakah model ini cukup kuat untuk menandingi sistem kapitalisme global yang mendominasi. Pengembangan ekonomi berbasis komunitas memang dapat membantu mengurangi kesenjangan, namun dalam dunia ekonomi yang sangat kompetitif, Indonesia perlu strategi yang lebih luas, termasuk memanfaatkan teknologi finansial (fintech) dan penguatan sektor industri berbasis digital. Jika pendekatan syariah tidak beradaptasi dengan perkembangan ekonomi digital, ada risiko terjadinya isolasi dari pasar global yang semakin cepat berubah.