Mohon tunggu...
Naufal Daffa
Naufal Daffa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Prodi Aqidah dan Filsafat Islam UIN Jakarta

Seorang mahasiswa biasa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Membangun Dunia Tanpa Batas : Refleksi Filosofis tentang Globalisasi

28 Januari 2025   08:06 Diperbarui: 28 Januari 2025   08:06 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sebuah globe / bola dunia (sumber : unsplash.com)

Globalisasi adalah salah satu fenomena paling menonjol di abad ke-21. Perkembangan teknologi, ekonomi, dan komunikasi telah mempercepat interaksi antarnegara, menciptakan koneksi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Namun, di tengah janji-janji besar globalisasi untuk menyatukan dunia, muncul pertanyaan penting: apakah globalisasi benar-benar membawa kita menuju dunia tanpa batas, atau justru mempertegas sekat-sekat yang sudah ada?

Tulisan ini berusaha merefleksikan globalisasi dari sudut pandang filosofis, membedah peluang yang ditawarkan sekaligus tantangan yang mengiringinya.

Globalisasi sebagai Proses Alamiah
Secara filosofis, globalisasi dapat dipandang sebagai langkah evolusi dalam sejarah peradaban manusia. Konsep "kesatuan umat manusia" telah lama menjadi impian para pemikir besar. Immanuel Kant, misalnya, melalui gagasannya tentang perdamaian abadi (perpetual peace), membayangkan sebuah dunia di mana negara-negara bekerja sama dalam harmoni melalui prinsip kosmopolitanisme.

Globalisasi merealisasikan sebagian visi tersebut dengan menghadirkan dunia yang lebih terkoneksi. Perdagangan lintas negara, pertukaran budaya, dan akses informasi yang lebih mudah adalah beberapa wujud nyata dari perkembangan ini. Namun, apakah ini cukup untuk menciptakan dunia tanpa batas?

Paradoks Globalisasi
Di balik narasi optimisme globalisasi, terdapat paradoks yang sulit diabaikan:

  1. Kebebasan vs. Ketimpangan
    Globalisasi menjanjikan kebebasan---baik dalam mobilitas, informasi, maupun peluang ekonomi. Namun, kebebasan ini tidak dinikmati secara merata. Negara maju kerap mendapatkan manfaat lebih besar, sementara negara berkembang tertinggal dalam kompetisi global. Jurang ketimpangan ini menunjukkan bahwa globalisasi masih bersifat eksklusif.

  2. Persatuan vs. Identitas Lokal
    Globalisasi sering kali dianggap sebagai ancaman bagi identitas budaya lokal. Masuknya budaya populer dari negara-negara besar dapat menyebabkan homogenisasi budaya, mengikis keunikan yang seharusnya menjadi kekayaan umat manusia.

Paradoks ini mencerminkan "dialektika" globalisasi: sebuah proses tarik-menarik antara yang lokal dan yang global, antara persatuan dan perbedaan.

Membangun Dunia Tanpa Batas: Sebuah Utopia?
Gagasan dunia tanpa batas kerap dipandang sebagai utopia. Di dalam dunia seperti ini, tidak ada lagi perang, diskriminasi, atau sekat ekonomi yang membatasi manusia. Filosofi kosmopolitanisme menawarkan pandangan bahwa manusia dapat hidup dalam harmoni, melampaui batas-batas geografis maupun ideologis.

Namun, utopia ini menghadapi tantangan besar. Kepentingan politik, ekonomi, dan keamanan nasional sering kali menjadi penghalang utama dalam menciptakan dunia yang benar-benar inklusif. Apakah dunia tanpa batas ini hanya sebatas idealisme belaka?

Kritik terhadap Globalisasi
Di balik optimisme, globalisasi juga menuai kritik tajam. Perspektif realisme dalam hubungan internasional, misalnya, menegaskan bahwa negara tetap mendahulukan kepentingan nasional di atas nilai-nilai universal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun