Mohon tunggu...
Naufal Azizi
Naufal Azizi Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Aktif di Lembaga Kajian Mahasiswa Universitas Negeri Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Politik

(Negara) Seolah-olah (Negara)

21 Desember 2010   16:02 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:31 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Naufal Azizi[i]

Menerobos segala dimensi

Menembus seluruh isi

Bumi pertiwi mensuplai ragam variasi

Alam dijadikan suatu yang hakiki untuk dapat diekspolitasi secara berlebih

Menentukan sebuah langkah, langkah kebijakan histori

Representasi dibalik regulasi

Poros kata hanya dijadikan repetisi tapi tak sedikit pun menyinggung subtansi

Sebagian terdiam tanpa aksi

Bagian lain beraksi layaknya sang pemberani

Padahal mereka tak tau arti pasti

Selalu terbawa alur imajinasi dan nikmatnya idiologi

Ilusi ataupun delusi selalu terbebani


Negara sebagai navigasi hanya dijadikan inflasi kepentingan pribadi

Tak cukup ke dua kali pancasila dipolitisasi sebagai buah atas landasan filosofi

Kongsi-kongsi kecil mengerutkan arah transformasi

Konsekuensi akibat lemah koordinasi

Cukup sulit untuk dipahami karna tlah terpatri

Tiba waktu intropeksi biar tak ter-trepridasi

Owh..romantisme fluktuasi sang negri.

Rawamangun, 10 November 2010

Alunan puisi diatas merefleksikan bagaimana kita tak henti-henti berempati kepada negeri ini. Negeri dengan penuh ironi. Duka yang mendalam setelah silih berganti datang bencana alam. Terhitung jauh semenjak tsunami Aceh, gempa bumi Sleman, jebolnya Situ Gintung, gempa Padang-Pariyaman. Memang tragis untuk diingat kembali. Tak mau kalah pula ikut meramaikan situasi setelah lahirnya banjir Wasior, erupsi Merapi serta tsunami Mentawai. Tak ada pilih kasih bagi alam untuk masalah ini.Seluruh penjuru nusantara rasanya tak pernah diberi kesempatan aman dari malapetaka bencana yang tak tau pasti kapan bisa diprediksi. Kewaspadaan akan muncul tiba-tiba harus segera diantisipasi.

Lebih kejam lagi, bagaimana bencana sosial terus mengiringi kehidupan kita sehari-hari. Mulai zaman pra kemerdekaan yang harus dibayar dengan pengorbanan fisik, tenaga, fikiran sampai pasca kemerdekaan seperti saat ini. Belenggu sosial rasanya tak mau jauh dari kita. Detik ini, harga kebutuhan pokok begitu menjulang tinggi sementara semakin menyempitnya ruang pencarian ekonomi. Ditambah dengan akses pendidikan yang serba tak pasti. Ingat, saudara kita di Sidoarjo yang belum mempunyai jaminan kepastian dari pelaku utama, PT. Lapindo. Hampir lima tahun sudah mereka dilantarkan dan dipelihara kesengsaraanya. Belum puas belajar dengan kasus tersebut, indikasi penjualan saham PT. Krakatau Steel dengan lebih mempercayai pihak investor asing ketimbang investor lokal menjadi renungan tabu atas perjalanan PT.Indosat. Semuanya terseok-seok akibat kepincangan sebuah regulasi. Sebenarnya, domain siapa regulasi tersebut?

Menarik dicermati mengikuti kuliah umum oleh Dr. Jatna Supriatna tentang teori asal-usul kehidupan. Meski tak banyak sekali saya fahami selama kuliah tersebut. Sudah barang tentu, yang paling menarik bagi saya adalah teori evolusi Darwin. Penjelasan Dr. Jatna atas teori evolusi adalah setiap makhluk hidup akan saling berkompetisi untuk melanjutkan kehidupannya dan mereka yang kalah akan menerima konsekuensi yang biasa kita kenal dengan sebutan seleksi alam. Makhluk hidup punya dorongan untuk saling meniadakan. Inilah yang selanjutnya beliau namakan sebagai game theory. Satu pemahaman lagi tertuju pada ‘female choice’ bahwa entitas terbanyak lah (baca.perempuan) yang akan menentukan serta memilih apa dan siapa yang nantinya bakal melanjutkan kelangsungan hidup supaya mendampingi mereka.

Ternyata teori tersebut sedikit banyak mempunyai kesamaan arti ketika saya ambil garis lurus dan mengkorelasikan hubungan antara masyarakat (kelompok) dengan negara. Untuk teori seleksi awal,barangkali menjadi implementasi utama berkembangnya ruang kekuatan bagi negara kita dalam menyebar virus-virus kapitalisme maupun feodalisme apapun bentuknya entah itu politik, ekonomi, maupun pendidikan. Siapa yang mampu menguasai dialah yang akan terus bertahan di negara ini. Sayangnya, pemahaman teori evolusi agak missing. Padahal satu penekanan penting dalam teori evolusi ini bahwa dalam berevolusi makhluk hidup selalu menuju proses kesempurnaan. Kesempurnaan tercipta dari bibit-bibit unggul. Artinya pemahaman parsial teori evolusi dalam konteks ke-negara-an hanya mentok diawal (menang atau kalah) terutama dalam mengeluarkan kebijakan baru secara sepihak tanpa memperhitungkan dampak negatif kebijakan lama.

Berbanding dengan ‘male choice’ seolah campur tangan masyarakat kian bringas tanpa peduli kehadiran negara. Lihat saja, negara tak punya kuasa saat konflik horizontal terjadi antaragama, suku, dan budaya. Masyarakat bebas bertindak seolah tak butuh uluran tangan negara. Menghiraukan batas-batas kepentingan negara. Andaikata saya memakai logika terbalik dengan mengedepankan konsep ‘male choice’ bisa ditebak tipe negara akan kembali menjadi kekuatan super dengan keseweng-wenangan mengedepankan hasrat otoriteristik.

Baru-baru ini, kita melihat bagaimana penyikapan pemerintah diwakili presiden dengan mengatasnamakan negara peduli terhadap respon positif yang timbul akibat bencana Merapi dan Mentawai. Presiden rela mempersingkat kunjungan ke Filipina dilanjutkan dengan menginap tiga hari sebelum harus kembali ngantor ke Istana demi menyambut kedatangan sang presiden Amerika Serikat, Barrack Obama. Saya tak tau pasti apa yang presiden lakukan selama di Jogja, jelas dapat saya tangkap, para pengungsi terbebani dengan kondisi pengungsian yang serba minim. Makanan, pakaiaan dan kesehatan kurang terjamin. Tak sedikit pula tergoncang sisi psikologi mereka akibat stress dan kejenuhan aktivitas. Sementara itu, sebagian lain bersikukuh kembali ke sekitar daerah Merapi demi masa depan eksistensi. Terus, dimanakah posisi negara yang seharusnya menjamin kehidupan mereka kedepan.

Lain cerita Wasior, meski respon sama tapi perlakuaan beda ditunjukkan oleh presiden. Tak hanya menunda kedatangan kesana, intensitas keberadaan hanya cukup dengan waktu 3 jam mencerminkan kembali sikap diskriminasi wilayah-wilayah timur. Sebuat saja Jawa yang selalu dibuat sentralistik oleh Negara. Negara ini belum cukup berpengalaman dalam merawat diversitas. Mungkin itulah yang saya pahami ketika spekulasi muncul dari negara menyambut kedatangan Obama. Sisi lain, negara terlalu bangga sehingga rela mengeluarkan jutaan rupiah dengan kembalinya bagian warga yang kali ini membawa status spesialnya. Sisi lain juga negara juga sulit terhindar dari kepentingan Obama untuk Amerika.

Ditengah-tengah duka cita bencana seolah negara dibuat tak terpedaya dengan asyiknya para politisi berpelisir ke luar negeri. Sementara mereka yang membantu lebih suka ‘pamer-pamer’ dengan ribuan hiasan visualnya. Kalau saya boleh memilih, harusnya semua bencana waktu kedatangannya seperti Situ Gintung. Dimana saat negara asyik melaksanakan ‘gebyar acara’. Pasti segala komponen yang ada di negara berbondong-bondong ikut serta menampakkan diri. Beban negara pun serasa ringan yang dipikulnya.

Negara selalu terglincir atas hal-hal yang berbau kesan-pesan. Negara seakan terpaku sesaat atas hal-hal aktual. Akibatnya, Pekerjaan Rumah (PR) lama negara menjadi berwajah suram. Seolah-olah negara lupa akan pembebasan korupsi, kesengsaraan sosial, budaya primordialisme tinggi, maraknya anarkisme, atau bobroknya birokrasi. Dan mungkin masih banyak lagi yang kita sendiri termanipulasi atau bahkan memanipulasikan diri.

Mengakhiri tulisan ini, saya sebagai bagian dari negara datang bak pahlawan, menggugat dan membeberkan seluruh dosa-dosa negara yang tak sanggup lagi memenuhi kepentingan pribadi. Semua itu berujung pada penghakiman negatif kepada negara. Kala datang kesempatan lain saat negara memberi ruang bagi saya, saya tergelimang akan kebebasan seolah-olah saya tak ingin lagi menjadi bagian dari negara ini. Inilah yang mendistorsi pikiran saya apakah kita hidup di negara seolah-olah atau seolah-olah negara. Hal ini selaras apa yang di-ilisutrasi-kan oleh Deddy Mizwar dalam film “Alangkah Lucunya Negeri Ini”. Semoga akhirnya saya tidak-Tidak Menjadi Indonesia.

[i] Manusia Pembelajar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun