Ilusi ataupun delusi selalu terbebani
Negara sebagai navigasi hanya dijadikan inflasi kepentingan pribadi
Tak cukup ke dua kali pancasila dipolitisasi sebagai buah atas landasan filosofi
Kongsi-kongsi kecil mengerutkan arah transformasi
Konsekuensi akibat lemah koordinasi
Cukup sulit untuk dipahami karna tlah terpatri
Tiba waktu intropeksi biar tak ter-trepridasi
Owh..romantisme fluktuasi sang negri.
Rawamangun, 10 November 2010
Alunan puisi diatas merefleksikan bagaimana kita tak henti-henti berempati kepada negeri ini. Negeri dengan penuh ironi. Duka yang mendalam setelah silih berganti datang bencana alam. Terhitung jauh semenjak tsunami Aceh, gempa bumi Sleman, jebolnya Situ Gintung, gempa Padang-Pariyaman. Memang tragis untuk diingat kembali. Tak mau kalah pula ikut meramaikan situasi setelah lahirnya banjir Wasior, erupsi Merapi serta tsunami Mentawai. Tak ada pilih kasih bagi alam untuk masalah ini.Seluruh penjuru nusantara rasanya tak pernah diberi kesempatan aman dari malapetaka bencana yang tak tau pasti kapan bisa diprediksi. Kewaspadaan akan muncul tiba-tiba harus segera diantisipasi.
Lebih kejam lagi, bagaimana bencana sosial terus mengiringi kehidupan kita sehari-hari. Mulai zaman pra kemerdekaan yang harus dibayar dengan pengorbanan fisik, tenaga, fikiran sampai pasca kemerdekaan seperti saat ini. Belenggu sosial rasanya tak mau jauh dari kita. Detik ini, harga kebutuhan pokok begitu menjulang tinggi sementara semakin menyempitnya ruang pencarian ekonomi. Ditambah dengan akses pendidikan yang serba tak pasti. Ingat, saudara kita di Sidoarjo yang belum mempunyai jaminan kepastian dari pelaku utama, PT. Lapindo. Hampir lima tahun sudah mereka dilantarkan dan dipelihara kesengsaraanya. Belum puas belajar dengan kasus tersebut, indikasi penjualan saham PT. Krakatau Steel dengan lebih mempercayai pihak investor asing ketimbang investor lokal menjadi renungan tabu atas perjalanan PT.Indosat. Semuanya terseok-seok akibat kepincangan sebuah regulasi. Sebenarnya, domain siapa regulasi tersebut?