Mohon tunggu...
Naufal AzharFaiq
Naufal AzharFaiq Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Menulis agar terkenang

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Warisan Jariyah Politik Luar Negeri Era Soeharto

30 April 2021   18:08 Diperbarui: 30 April 2021   18:20 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Presiden Soeharto memegang tongkat estafet penguasa untuk menggantikan Presiden pertama RI yaitu Ir.Soekarno. Sejauh ini, Soeharto merupakan satu-satunya presiden RI yang paling lama berkuasa yakni selama 31 tahun. Selama berkuasa itu, Soeharto meletakkan banyak dasar untuk pembangunan Indonesia.  Dengan waktu berkuasa yang lama tersebut kemudian membuat sosok Soeharto penuh kontroversi, namun dibalik lamanya tersebut beberapa prestasi dan jasa telah beliau curahkan untuk negeri ini. Tetapi sampai sekarang ini masih banyak orang yang menyebutnya sebagai presiden yang otoriter. Lepas dari pro kontra tersebut, berikut warisan politik luar negeri Presiden Soeharto untuk Indonesia, yang dikutip dari buku 'Diplomasi Indonesia: Realitas dan Prospek'karya Haryanto, A., & Pasha, I. (2016).

Saat presiden Soeharto ini selalu gencar dengan membangun stabilitas ekonomi. Kondisi ekonomi Indonesia pada masa Soekarno memang sedikit mengalami penurunan pasalnya pada tahun 1965, inflasi mencapai angkat yang sulit dibayangkan untuk saat ini, yaitu sampai 500 persen, utang luar negeri 2,36 miliar dollar AS, bunga utang yang mendesak harus dibayar segera mencapai 530 juta dollar AS, dan kurs dollar AS naik dari nilai tukar Rp 8.100,00, yang kemudian menjadi Rp 50.000,00 pada tahun 1966. Indonesia di bawah pemerintahan Orde Baru berusaha menjalankan "diplomasi pembangunan" dan "diplomasi bantuan". Diplomasi pembangunan menekankan kebijakan luar negeri yang menyokong pembangunan-pembangunan di dalam negeri. Diplomasi bantuan menekankan pencarian bantuan kepada negara-negara lain untuk mewujudkan diplomasi pembangunan. 

Hal ini ditegaskan dalam Nota Pimpinan MPRS No. Nota 4/PIMP/1968 yang ditujukan kepada Presiden RI Mandataris MPRS dan DPR-GR bahwa "bantuan-bantuan luar negeri serta kerja sama ekonomi internasional harus disinkronisasikan dengan pembangunan nasional. Pinjaman-pinjaman dan bantuan asing harus mempunyai peran pembantu (complementary)". Dengan demikian lebih jelas bahwa ekonomi menjadi prioritas utama di depan politik. Yang menjadi tujuan pertama-tama adalah bagaimana menciptakan stabilitas ekonomi jangka pendek. Indonesia menempuh melalui tiga cara: penjadwalan kembali utang luar negeri, mencari bantuan bagi pembangunan, dan membuka ruang investasi dengan penanaman modal asing.

Sejak tahun 1957, Indonesia sudah mulai menegaskan Wawasan Nusantara untuk menyatukan wilayah Indonesia yang terdiri dari beribu-ribu pulau. Deklarasi tersebut muncul karena pemerintah Indonesia merasa wilayah kepulauan seperti Indonesia membutuhkan aturan tersendiri. Hukum laut warisan kolonial yang membatasi laut teritorial selebar 3 mil dari garis air rendah dianggap tidak sesuai dengan keamanan Indonesia. Berbahayanya hukum laut kolonial ini bisa dilihat misalnya dalam kasus pembebasan Irian Barat. Untuk mempersiapkan diri menghadapi Konferensi Hukum Laut III yang akan diadakan mulai tahun 1973, Indonesia melakukan gerilya diplomasi ke negara-negara Asia-Afrika. Pada tahun 1971 Indonesia memperkenalkan konsep Wawasan Nusantara dalam sidang Asian-African Legal Consultative Committee (AALCC) di Kolombo. Konsep itu dibahas kembali dalam AALCC selanjutnya. Dengan strategi tersebut, Indonesia mengharapkan dukungan terhadap konsepsi Wawasan Nusantara dalam Konferensi Hukum Laut III. Pada tahun 1972 Organisasi Persatuan Afrika menyatakan mendukung konsep baru tersebut. Penentangan terhadap konsepsi malah muncul dari ASEAN namun usaha tersebut masih belum terlaksana karena perbedaan pendapat dan kepentingan.

Diplomasi menjadi salah satu bagian yang tak terpisahkan dalam hubungan internasional. Melalui diplomasi ini Negara saling berebut pengaruh untuk meraih ataupun mempertahankan kepentingan nasionalnya di tengah anarchy dunia interansional. Lalu, bagaimana Indonesia berdiplomasi dalam meraih ataupun mempertahankan kepentingan nasionalnya di tengah kondisi anarchy tersebut?.  Diplomasi di era pemerintahan Soeharto atau yang sering menyebutnya yaitu era orde baru, kebijakan luar negeri Indonesia bersifat low profil dengan tujuan untuk menyejahterakan rakyat dan memfokuskan pada pembangunan. Era diplomasi orde baru memiliki perbedaan dengan pemerintah sebelumnya yaitu pemerintahan Ir Soekarno akan tetapi masih tetap melaksanakan kebijakan luar negeri yang bebas aktif, berprinsip anti imperialisme dan berusaha tetap menjadi pemain penting di kawasan Asia tenggara. Orde lama adalah rezim yang terjadi pada tahun 1945 hingga 1965 sedangkan orde baru lahir pada tahun 1966 hingga 1998. Orde lama memiliki situasi kondisi dari sosial budaya yang memiliki suasana transisional berbeda dengan orde baru yang memiliki kebebasan dalam segala aspek pada umumnya. Dari berbagai kebijakan yang dilakukan oleh presiden Soeharto yang sampai sekarang masih dapat kita rasakan yaitu jaringan kerjasama dengan negara lain yang sudah terbuka oleh pak Harto, kemudian konsep wawasan nusantara yang diperjuangkan masih begitu penting sampai sekarang ini karena wilayah Indonesia yang kepulauan.

Sumber: Haryanto, Agus. (2016). Diplomasi Indonesia: Realitas dan Prospek.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun