Mohon tunggu...
Naufal Arief
Naufal Arief Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Indonesia

Hobi saya menulis.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Satu Tahun Perang Gaza: Merefleksikan Perjuangan dan Kontribusi Civil Society Australia untuk Kebebasan Palestina

12 Desember 2024   16:25 Diperbarui: 12 Desember 2024   16:25 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perasaan frustasi, marah, dan kecewa dapat tercermin di antara ribuan orang yang menghadiri unjuk rasa pro-palestina di seluruh wilayah Australia. Gerakan protes ini merupakan bentuk kecaman dari warga Australia atas semakin meningkatnya jumlah kematian masyarakat sipil Palestina seiring berlangsungnya perang di Gaza yang hampir genap berusia satu tahun. 

Dalam unjuk rasa tersebut, para demonstran berhasil memenuhi ruas jalan di kota-kota besar Australia seperti Melbourne, Sydney, dan Brisbane. Mereka mengungkapkan kemurkaannya dan menuntut para pemimpin Australia seperti Perdana Menteri, Anthony Albanese dan Menteri Luar Negeri, Penny Wong yang selama ini tidak mempedulikan aspirasi mereka untuk segera bertindak dalam memperjuangkan kedamaian dan kebebasan Palestina. 

Serangan militer secara masif oleh Israel yang menewaskan puluhan ribu masyarakat sipil Palestina ini memang cukup menarik perhatian internasional, tidak terkecuali Australia. 

Publik di Australia, termasuk berbagai organisasi seperti Amnesty International Australia, Australian Centre for International Justice, dan Australia Palestine Advocacy Network dari awal cukup aktif dalam menyerukan gencatan senjata segera dan mengutuk penargetan warga sipil di Gaza. Menurut mereka, serangan Israel merupakan upaya genosida serta pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia masyarakat sipil Palestina. Meskipun itu, di sisi lain, terdapat juga kelompok di Australia yang mendukung Israel karena menganggap serangan balik militernya merupakan bentuk self-defence untuk menjaga keamanan dari serangan yang sebelumnya dilakukan oleh Hamas. Hal tersebut menyebabkan terbentuknya polarisasi yang cukup kuat di antara publik Australia, sehingga tidak jarang menimbulkan berbagai tantangan dan hambatan, seperti meningkatnya tensi, terpecahnya suara publik dalam mengadvokasikan isu-isu Palestina, serta inkonsistensi posisi pemerintah Australia dalam merespons konflik Palestina-Israel. 

Meskipun menghadapi berbagai tantangan dan hambatan, masyarakat dan organisasi pro Palestina tetap aktif dan kritis menyuarakan dukungan dan solidaritasnya untuk kebebasan Palestina. Berkat kerja keras dari seluruh publik Australia melalui berbagai rangkaian advokasi dan gerakan protes, baru-baru ini pemerintahan Australia telah mengubah posisi politiknya dengan mendukung resolusi PBB yang menyerukan Israel untuk mengakhiri pendudukannya atas wilayah Palestina, termasuk Gaza, Yerusalem Timur, dan Tepi Barat. Terlepas dari berbagai faktor internal atau eksternal lainnya, pergeseran sikap Australia ini menjadi pertanda bahwa civil society memiliki peranan dan pengaruh yang signifikan dalam mempengaruhi keputusan pemerintah. 

Melalui fenomena tersebut penulis menyoroti beberapa hal penting yang dapat dijadikan pelajaran sekaligus refleksi kita, termasuk bagaimana cara mengoptimalkan peranan penting civil society untuk mendorong sikap dan keberpihakan pemerintah terhadap isu-isu atau permasalahan krusial. Oleh karena itu, melalui tulisan ini penulis berupaya melihat berbagai upaya-upaya, tantangan, hingga dampak yang dihasilkan civil society di Australia dalam mendorong keberpihakan pemerintah dalam isu konflik Israel-Palestina.  

Eskalasi Konflik Israel-Palestina

Konflik antara Palestina-Israel memang kembali menunjukkan adanya eskalasi, terutama setelah Hamas, yaitu kelompok bersenjata Palestina melakukan serangan balik yang tidak diduga-duga pada 7 Oktober 2023. Saat itu sekitar lima ribu roket ditembakkan ke Israel Selatan ketika mereka merayakan hari terakhir festival keagamaan Sukkot (Shabbat). Serangan tersebut merupakan bentuk protes dan reaksi karena selama ini wilayah Palestina telah diduduki secara ilegal oleh Israel. Serangan tersebut direspons langsung oleh Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu dengan menyatakan bahwa negaranya dalam kondisi perang. Di hari berikutnya, Israel meluncurkan sekitar 300 ribu tentara tambahan untuk dimobilisasi ke Gaza dalam waktu 48 jam. Tidak butuh waktu lama, militer Israel berhasil memperketat penguasaan wilayah di Gaza dengan melakukan pengepungan dan blokade.

Ironisnya, sejak Israel berhasil menguasai wilayah Gaza, mereka melakukan penyerangan secara membabi buta serta melanggar hukum humaniter internasional, terutama dengan menyerang rumah sakit dan membunuh warga sipil Palestina. Serangan terhadap fasilitas kesehatan ini menyebabkan semakin banyaknya korban sipil yang berjatuhan karena minimnya ketersediaan peralatan dan sumber daya yang ada. Hal ini diperparah dengan Israel yang juga melakukan blokade jalur untuk membatasi suplai penting yang disalurkan kepada warga Palestina seperti obat, bahan bakar, dan lain-lain. Setidaknya, per-Agustus 2024, jumlah korban tewas di Gaza telah melampaui 40.000 orang. Sejumlah pakar menekankan bahwa angka ini kemungkinan besar jauh lebih rendah dari jumlah korban sebenarnya dari aksi militer Israel karena angka tersebut belum memperhitungkan ribuan korban yang masih hilang atau dipercaya tertimbun di bawah reruntuhan.

Pecahnya konflik antara Palestina-Israel ini tentu menarik respons dan perhatian internasional. Banyak negara-negara yang mengecam tindakan Israel dan menuntut agar segera dilakukan gencatan senjata dan mediasi untuk mencegah dampak yang semakin buruk. Selain itu, beberapa negara, termasuk Indonesia juga mengirimkan bantuan kemanusiaan berupa bahan-bahan pokok kepada warga Palestina yang tengah mengungsi. Beberapa  lembaga dan organisasi internasional seperti PBB, Uni Eropa, dan Mahkamah Pidana Internasional (ICC) telah memberikan upaya-upaya dan langkah alternatif untuk menghentikan kekerasan yang terjadi seperti misalnya mempromosikan solusi dua negara sebagai jalan keluar. Bahkan, negara-negara seperti Afrika Selatan, Turki, dan beberapa negara anggota Liga Arab secara konsisten mendorong untuk melakukan penyelidikan independen atas kekerasan yang terjadi terhadap warga sipil Palestina sebagai bentuk pelanggaran hukum humaniter. Namun, tantangan utamanya  adalah kurangnya konsensus politik global, serta pengaruh kelompok-kelompok kepentingan di tingkat internasional

Dalam tataran masyarakat, aksi militer yang dilakukan oleh Israel menimbulkan respons yang cukup beragam karena dipengaruhi oleh  konteks sosial, politik, dan budaya masing-masing negara. Sebagian besar kelompok masyarakat sipil, termasuk LSM/NGO, aktivis, serta organisasi kemanusiaan secara lantang mendukung hak-hak warga sipil Palestina serta menyerukan akuntabilitas atas pelanggaran hukum internasional yang dilakukan oleh Israel. Hal ini dapat tercermin dari maraknya berbagai demonstrasi besar-besaran, kampanye solidaritas, serta gerakan-gerakan seperti Boycott, Divestment, Sanctions (BDS) di berbagai belahan dunia. Meskipun itu,  tidak sedikit juga respons dari masyarakat yang pro-Israel dengan fokus pada pembelaan keamanan Israel serta menganggap kekerasan oleh kelompok bersenjata Palestina (Hamas) sebagai bentuk terorisme. Dualisme inilah yang kemudian membentuk polarisasi yang kuat di antara masyarakat global. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun