Fase kedua yakni di tahun 1960-an saat Ia mulai kembali dari Pendidikan panjangnya di luar Pakistan. Fazlurrahman mulai merambah pada kajian normatif. Ditambah Ia juga memberikan interpretasi baru terhadap al-Quran dengan metode barunya. Hal ini ditolak keras oleh ulama konservatif di kampung halamannya. Fase ketiga di tahun 1970-an Fazlurrahman memutuskan untuk pergi dari Pakistan karena beberapaa ancaman yang didapatkan dari para penolak gagasannya.
Pandangan Mengenai Al-Quran
Menurut Fazlurrahman al-Quran ini tidak diwahyukan secara verbal (bersuara) melainkan dalam bentuk ide dan maknanya saja. Dasar yang dikemukakan oleh ulama satu ini terdapat pada QS. al-Syura : 51 dan 52. Pemikiran ini sebenarnya senada dengan Muhammad Iqbal dan Syaikh Waliullah yang menjadi rujukan. Â
Tidak hanya itu, Fazlurrahman menolak anggapan ketika Malaikat Jibril menampakkan dirinya secara langsung saat menyampaikan wahyu kepada Nabi Muhammad. Ia percaya bahwa hanya dua waktu Nabi bertemu dengan Malaikat Jibril berdasarkan al-Qur'an seperti QS. an-Najm: 15-18. Pertama, adalah di Upuk Tinggi dan kedua di Sidrotul Muntaha.
Ulama-ulama tradisionali dan fundamentalis pada zaman itu tidak terima dengan gagasan yang dibawa oleh Fazlurrahman. Bahwa al-Qur'an merupakan kalam Allah dalam arti biasa dan keseluruhan adalah perkataan (qoul) Nabi Muhammad. Pernyataan ini lah yang terkesan Allah dan Nabi Muhammad berkerja sama dalam meurunkan al-Qur'an pada umat Muslim. Padahal Fazlurrahman tidak sepenuhnya salah akan hal ini.
Lewat muridnya bernama Syafi'i Ma'arif menjelaskan al-Qur'an ini seluruhnya kalam Allah yang bersifat sempurna dan bebas dari kecacatan. Namun, saat turun pada hati Nabi Muhammad lalu diucapkan secara lisam melalui lidahnya tentu definisi al-Qur'an ini menjadi perkataan beliau. Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H