Sejarawan dari Australia itu menerangkan bahwa pembentukan RIS dipandang orang-orang sebagai muslihat Belanda. Hal demikian semakin diperparah manakala Raymond Westerling, seorang perwira Belanda, merencanakan pembunuhan kepada sejumlah menteri RIS dan melancarkan aksi yang biadab terhadap rakyat Indonesia.
Sang Pemimpin Tampil di Tengah Krisis
Riak-riak di akar rumput tak dapat ditahan lagi semenjak RIS didirikan pada 27 Desember 1949. Sejumlah ekspresi ketidakpuasan dan tuntutan rakyat yang menghendaki pembubaran negara-negara bagian RIS seiring waktu makin jelas bermunculan.
"Ketidakpuasan itu ditunjukkan dengan tuntutan dan demonstrasi agar negara-negara bagian bergabung dengan RI atau RIS dilikuidasi.", tulis Dzulfikriddin dalam Mohammad Natsir dalam Sejarah Politik Indonesia (2010).
Ekspresi dan tuntutan demikian muncul pasalnya rakyat di sejumlah negara bagian menilai sistem federasi (RIS) sebagai bentuk strategi Belanda untuk melemahkan kedaulatan RI. Rakyat melihat bahwa Belanda hendak memecah belah Indonesia melalui RIS.
Mohammad Natsir (1908-1993), seorang pemimpin Islam terkemuka yang menjadi
wakil dari Fraksi Masjumi di Parlemen RIS, rupanya mampu menangkap aspirasi ini dengan baik. Berbekal perintah dari Mohammad Hatta, selaku Perdana Menteri RIS. Natsir lekas melakukan lobi-lobi politik dengan beberapa tokoh yang sama-sama duduk di parlemen.
Dzulfikriddin menerangkan bahwa semenjak itulah tampak jiwa cinta persatuan nasional dari seorang Natsir. Ia dalam kapasitasnya selaku Ketua Fraksi Masjumi, partai Islam terbesar di Indonesia, tidak hanya melakukan lobi kepada wakil-wakil Islam saja, melainkan juga kepada wakil-wakil lintas partai dan haluan ideologi. Bahkan, dengan wakil dari PKI sekali pun. Lebih terang lagi, Dzulfikriddin menuliskan:
"Di Parlemen RIS, Natsir tidak hanya melobi politisi Islam, seperti Sirajuddin Abbas dari Perti dan Amelz dari PSII, tetapi juga berbicara denga I.J Kasimo dari Partai Katholik, A.M Tambunan dari Partai Kristen, dan Sukirman dari PKI."
Tak hanya itu, Natsir juga melakukan kunjungan ke negara-negara bagian guna melakukan lobi politik dan mengetahui secara aktual aspirasi peleburan serta pembubaran negara-negara bagian RIS. Natsir mengaku telah menghabiskan waktu selama dua setengah bulan untuk melakukan lobi politik wabil khusus dengan negara-negara bagian di luar Pulau Jawa.
"Natsir menemui Mr. Assaat, Pejabat Presiden RI di Yogya, dan pergi ke daerah-daerah lain untuk melakukan pendekatan dan mengetahui pendapat mereka." tulis Dzulfikriddin.
Setelah melakukan lobi-lobi politik yang memakan waktu tak sebentar. Natsir sampai pada sebuah simpulan, "Negara-negara bagian itu mau bersatu kembali dengan Republik Indonesia Yogya, asal jangan disuruh bubar sendiri".