Dalam upaya menutup celah korupsi secara lebih mendalam, Daendels menunjuk sejumlah orang kepercayaannya untuk menduduki posisi-posisi tertentu, mengatur sistem kepangkatan para pejabat, dan menata sistem laporan keuangan.
Daendels juga mengeluarkan instruksi berupa larangan kepada para pejabat pribumi untuk mengeluarkan uang bekti. Biasanya, uang ini rutin dikeluarkan oleh para pejabat lokal setiap masa pelaksanaan pelantikan. Namun, semenjak keluarnya larangan itu, tindakan tersebut tidak diperbolehkan.
Tak hanya itu, Daendels mengangkat para penguasa lokal menjadi pegawai negeri yang memperoleh gaji. Gaji yang diberikan kepada mereka tidaklah sedikit. Hal ini ditujukan agar penguasa lokal tidak lagi menerima hadiah-hadiah yang biasanya diberikan oleh rakyat. Dengan demikian, Daendels berupaya  mengentaskan praktik gratifikasi yang selama ini menjangkiti para pejabat di Hindia Belanda.
Sekaitannya dengan konsekuensi dari pelanggaran yang menyangkut hal pemerasan, pemerintahan Daendels berkomitmen untuk tidak tanggung-tanggung memecat dan menghukum para pejabat pribumi yang terbukti melakukan pelanggaran tersebut.
"Semua penindasan dan pemerasan atas orang biasa yang dilakukan oleh para pejabat pribumi akan segera dihukum dengan risiko kehilangan jabatan, dihukum, dan ditahan.", tulis Tim Historia dalam buku Daendels Napoleon Kecil di Tanah Jawa.
Dengan diberlakukannya kebijakan-kebijakan demikian, timbul kekecewaan dari para penguasa lokal. Hal ini disebabkan karena lewat kebijakan tersebut, mereka tidak lagi bisa memperoleh hak-hak yang selama itu mereka dapatkan. Apalagi, pemerintahan Daendels juga menuntut pelaksanaan penanaman paksa kopi yang mana menjadi beban tersendiri bagi para penguasa lokal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H